Negara demokrasi tentu
identik dengan apa yang disebut dengan partai politik. Kebebasan bagi setiap
warga negara untuk memilih dan dipilih membuat setiap orang berhak menentukan
pilihannya dan mencalonkan diri sebagai pemimpin. Identitas negara demokrasi
tak pernah lepas dari hingar bingar pemilu (pemilihan umum). Suatu sistem
pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat sendiri sehingga akan tercipta suatu
hakikat demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan
segala kekurangan dan kelebihannya pemilu masih dianggap sebagai cara yang
paling representatif bagi terwujudnya sistem demokrasi seutuhnya. Jika pemilu
memang suatu cara yang dianggap paling representatif, apakah proses pelaksanaan
dan output dari pemilu akan menghasilkan wakil rakyat yang merakyat?. Sebuah
retorika pertanyaan yang menggelitik.
Indonesia merupakan negara demokrasi
yang sangat menjunjung tinggi asas-asas demokrasi yakni kebebasan. Pasal 1 ayat
2 UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut tentu menjadi dasar pelaksanaan
sistem demokrasi di Indonesia. Sistem pemilu yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebebasan juga menjadi salah satu bentuk paling nyata dari sebuah sistem
demokrasi di Indonesia. Dalam pemilu rakyat berhak mencalonkan diri serta
memilih sendiri calon-calonnya yang dianggap mampu menyuarakan aspirasinya.
Sehingga akan muncul sebuah istilah bahwa negara tidak dapat dikatakan sebagai negara
demokrasi jika tanpa pemilu di dalamnya.
Pemilu langsung yang telah
dilaksanakan mulai tahun 1999, 2004, 2009 sampai sekarang yang mana tinggal
hitungan hari kita akan kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk keempat
kalinya yakni pemilu tahun 2014. Dari sistem pemilu tertutup sampai
proporsional terbuka membuktikan bahwa telah dilakukan perbaikan sistem pemilu.
Dari yang dulu ketika rakyat hanya disuguhi gambar parpol tanpa mengetahui
wakilnya sehingga muncul istilah memilih kucing dalam karung sampai saat ini
yang mana pemilih mengetahui nama-nama calon wakil mereka di senayan yang
nantinya akan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini tentu menegaskan bahwa
sistem pelaksanaan pemilu terus dilakukan perbaikan untuk mencapai pelaksanaan
pemilu yang paling demokratis. Belajar dari berbagai kelemahan pemilu
sebelumnya tentu pemilu tahun ini sudah diperbaiki dari berbagai aspeknya.
Pemilu adalah sebuah proses yang
intinya mengandung input dan output. Output yang baik hanya akan tercipta jika
inputnya pun juga baik. Tentu sudah banyak yang mengkritisi terkait proses
(pemilu) itu sendiri. Input yang
dimaksud di sini adalah masukan dari proses (pemilu) tersebut. Sehingga dapat
dikatakan bahwa input dari pemilu adalah orang-orang yang kemudian kita kenal dengan
caleg-caleg, capres, cawapres, dll. Sedangkan outputnya nanti adalah caleg yang
telah terpilih yang disebut anggota legislatif, capres terpilih yang kemudian
disebut presiden, dlsb. Input ini tentunya mempunyai sebuah sarana penunjang
guna melalui sebuah proses atau pemilu dan yang selanjutnya sering kita sebut
sebagai tunggangan politik atau partai-partai politik.
Tahun 2014 ini setidaknya ada 14
parpol, yakni 11 partai nasional dan 3 partai lokal yang akan meramaikan pesta
demokrasi. Dari belasan partai tadi tentu masing-masing partai akan memilki
visi, misi serta kepentingan yang berbeda-beda. Kepentingan partai tentu
ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat tetapi ada pula beberapa kepentingan
partai yang tentu dibuat demi kepentingan partai itu sendiri. Hal ini karena
politik berbicara mengenai bagaimana caranya memperoleh kekuasaan maupun
mempertahankan kekuasaan. Konsep inilah yang menjadikan partai politik
berlomba-lomba mengeruk suara terbanyak dari masyarakat.
Parpol dianggap sebagai jalan utama
untuk menjadi wakil rakyat dan ikut dalam pemilu. Karena tanpa parpol nampaknya
tidak mungkin sesorang akan menjadi anggota legislatif atau wakil rakyat. Jika
kita menganalogikan caleg-caleg tersebut adalah seorang panglima perang berkuda
maka alangkah baiknya jika parpol dianalogikan sebagai kudanya bukan sebagai
jubah perangnya. Sedangkan kepentingan rakyat kita analogikan sebagai jubah
perangnya. Kemudian pemilu dapat kita ibaratkan sebagai perangnya. Jadi, pemilu
dapat dianalogikan dengan keadaan di mana panglima perang berjubah dan
menunggang kuda yang sedang berperang untuk memperoleh kemenangan sehingga
dapat kembali ke istana. Istana sendiri adalah analogi dari gedung DPR.
Makna dari analogi di atas adalah
ketika seorang caleg atau politikus itu terjun di dalam pemilu untuk
memperjuangkan hak-hak rakyat tentu modal utamanya adalah ikut parpol dan
mempunyai visi dan misi untuk rakyat. Kemudian ketika caleg tadi berhasil
terpilih sebagai anggota legislatif dan berhak menduduki kursi DPR di senayan maka
ia harus meninggalkan kepentingan partai politiknya (kudanya) di luar. Sehingga
yang dibawa masuk ke dalam adalah kepentingan rakyat (jubah perangnya). Karena
pada dasarnya ketika seseorang telah menjadi anggota legislatif maka sepenuhnya
ia adalah milik rakyat bukan milik parpol lagi. Parpol adalah sarana mencapai
kekuasaan dan kewenangan untuk menduduki kursi DPR. Inilah yang perlu dibentuk
dan diubah dari mindset para caleg yang mana mereka selalu mengedepankan
kepentingan pribadi dan parpol. Dampak yang jelas terlihat dapat tercermin
ketika suatu kebijakan yang sangat lama diputuskan karena gesekan pendapat
antar fraksi.
Lalu bagaimana menyelesaikan masalah
di atas? Penyelesaian masalah yang dapat kita lakukan adalah dari kita sendiri.
Kita mempunyai hak kebebasan dalam memilih wakil-wakil rakyat. Mari gunakan hak
pilih kita guna menghasilkan output terbaik dengan cara mengenali dulu
calon-calon yang hendak kita pilih, cari tau track recordnya, visi misinya, dan
berbagai hal tentangnya. Pilihlah caleg bukan atas dasar partai politiknya
melainkan kita melihat sikapnya dalam menempatkan partai politiknya. Bukan
seseorang yang dikendalikan parpolnya namun mampu menjadikan parpolnya sebagai
sarana memperoleh ilmu politik baginya. Golput bukanlah pilihan yang tepat
untuk menyelesaikan masalah. Jika negeri ini nantinya dipimpin oleh orang yang
salah jangan salahkan pemimpinnya karena mereka adalah orang yang kita beri
kepercayaan.