SISTEM SOSIAL BUDAYA
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah mengatakan bahwa persoalan
tentang konflik antar kekuatan-kekuatan sosial politik di Indonesia sangatlah
banyak dan beragam. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain DI/TII,
pemberontakan PRRI-Permesta dan G30 S/PKI. Konflik-konflik ini terjadi di
tengah pertentangan-pertentangan pendapat mengenai falsafah “konsensus
nasional” yang seharusnya menjadi landasan bagi seluruh tingkah laku masyarakat
Indonesia. Keadaan tersebut membuktikan bahwa semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
masih merupakan sebuah cita-cita yang harus diperjuangkan bangsa Indonesia
daripada sebagai kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu konflik masih menjadi masalah yang rawan bagi bangsa Indonesia di
masa yang akan datang, karena proses pebangunan yang akan semakin meningkatkan
perbedaan kepentingan antar golongan.
Pada hakikatnya konflik adalah suatu
gejala sosial yang melekat dalam kehidupan setiap masyarakat dan oleh karenanya
melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa. Dari situlah muncul suatu
pertanyaan :” faktor-faktor laten apakah yang sesungguhnya telah menimbulkan
konflik-konflik sosial di Indonesia?”. Pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman yang mendalam akan sumber-sumber yang menyebabkan konflik.
Dengan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan konflik akan memungkinkan untuk membentuk
kebijaksanaan yang bersifat fudamental untuk mengeliminir sumber-sumber konflik
tersebut serta menghindari kemungkinan timbulnya konflik-konflik sosial politik
semacam itu di kemudian hari.
Konflik akan terselesaikan dengan
jalan integrasi. Maka dari itu menculah suatu pertanyaan kembali
:”Faktor-faktor apakah yang mampu mengintegrasikan masyarakt Indonesia yang
memiliki kondisi-kondisi konflik?”. Dari jawaban pertanyaan tersebut akan
muncul berbagai sudut pandang atau pandangan antara konflik dan integritas.
Salah satunya adalh pendekatan teoritis yang akan dibahas kali ini. Pendekatan
teoritis hanyalh salah satu dari pendekatan sosiologi.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
Ada
dua macam pendekatan yang paling populer dalam pembahasan masalah konflik dan
integrasi. Dua macam pendekatan tersebut adalah pendekatan struktural
fungsional (structure- functional approach) dan pendekatan konflik (conflict
approach). Penjelasan lebih lanjut dari kedua pendekatan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Pendekatan
struktural fungsional (Structural-functional approach)
Pendekatan stuktural fungsional atau yang bisa
disebut dengan integration approach, order approach, maupun equilibrium
approach adalah suatu pendekatan yang melihat bahwa masyarakat pada dasarnya
merupakan suatu sistem yang secara fungsional terintregasi ke dalam suatu
bentuk equilibrium (keseimbangan) . Tokoh – tokoh penganut pendekatan ini
antara lain : Plato, Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile durkheim, Brorislaw
Malionowshi, Redcliffc Brown, dan Talcott Parson. Beberapa anggapan dasar dari
parson dan para pengikutnya terkait pendekatan fungsionalisme sruktural, antara
lain :
a. Masyarakat
dilihat sebagai suatu sistem bulan berupa bagian – bagian yang saling
berhubungan.
b. Hubungan
pengaruh mempengarui bagian - bagian
bersifat ganda dan timbal balik.
c. Meskipun
intergrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang
bersifat dinamis.
d. Meskipun
ada di fungsi, ketegangan dan penyimpangan namun pada akhirnya akan teratasi
dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses integrasi.
e. Perubahan
– perubahan sosial yang terjadi biasanya bersifat gradual dan tidak secara
revolusioner.
f. Perubahan
sosial timbul disebabkan oleh 3 kemungkinan : Penyesuaian terhadap perubahan
dari luar,pertumbuhan melalui diferensiasi dan fungsional,penemuan baru oleh
masyarakat.
g. Adanya
konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan
tertentu.
Di dalam pendekatan struktural fungsional dikenal
dengan adanya norma– norma sosial. Karena norma sosial itulah yang membentuk struktur
sosial. Sehingga tingkah laku mereka kemudian terjalin semedekian rupa ke dalam
bentuk suatu struktur sosial tertentu. Pendekatan ini mendapat kritikan dari
David Lockwood. Anggapan dasar bahwa setiap sistem sosial memiliki
kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium, sehingga mengabaikan
beberapa hal – hal sebagai berikut :
·
setiap faktor sosial
mengandung konflik – konflik internal
·
Ada faktor eksternal
yang memperngaruhi perubahan sosial
·
Suatu sistem sosial
pasti mengalami konflik
·
Perubahan sosial tidak
selalu berubah secara gradual
2. Perdekatan
konflik (Conflict approach)
Adanya kelemahan–kelemahan dari pendekatan
struktural, memunculkan suatu pendekatan yang lain yaitu pendekatan konflik
(Conflict approach). Pendekatan konflik melihat bahwa di dalam setiap
masyarakat selalu terdapat konflik antar kepentingan, baik dari Anggapan–anggapan
dasar pendekatan konflik, antara lain :
·
Masyarakat selalu
mengalami perubahan – perubahan.
·
Setiap masyarakat
mengandung konflik di dalamnya.
·
Unsur – unsur dalam
masyarakat memicu adanya disintegrasi dan perubahan sosial.
·
Setiap masyarakat
terintegrasi oleh paksaan dari pihak lain,
Dengan adanya
konflik, maka akan muncul berbagai bentuk pengendalian sosial, antara lain :
1. Konsiliasi
(Conciliation) : melakukan diskusi antar pihak yang bertentangan melalui
lembaga–lembaga. Syarat lembaga tersebut antara lain :
·
Lembaga bersifat
otonom.
·
Lembaga bersifat
monopolistis.
·
Lembaga harus bersifat
netral.
·
Lembaga harus bersifat
demokrasi.
2. Mediasi
: Penyeselan konflik melalui pihak ketiga untuk memberikan nasihat nasihat
terbaik.
3. Arbitration
: Penyesalan konflik melalui pihak ketiga
untuk memberikan keputusan– keputusan terbaik.
Dengan pengendalian
konflik sosial yang efektif, konflik–konflik sosial akan dapat menjadi kekuatan
yang mendororong terjadinya perubahan–perubahan sosial yang tidak akan mengenal
akhir.
BAB III
STRUKTUR MAJEMUK
MASYARAKAT INDONESIA
Pendekatan konflik dan pendekatan
struktural fungsional yang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing alangkah
baiknya jika mampu disintesakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Sejak
zaman Hindia-Belanda struktur masyarakat Indonesia adalah majemuk (plural
societies), yakni masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik. Hal ini terlihat dari tidak adanya kehendak bersama (common will).
Kemajemukan tersebut juga dapat dilihat dari adanya pembagian golongan
(pribumi, eropa, dan tionghoa) di Indonesia. Hal ini mengakibatkan adanya
konflik di dalam masyarakat baik itu antara kaum modal dan buruh, kota dan
desa, dll. Konsep kemajemukan di atas memang terjadi pada masa Hindia-Belanda,
namun dengan mengikuti modifikasi konsep ini masih relevan untuk masa kini.
Karakteristik masyarakat majemuk
menurut Peter L. van den Berghe, antara lain:
1. Terjadi
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang serigkali memiliki sub
kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Sruktur
sosial terbagi dalam lembaga non komplementer.
3. Kurang
mengembangkan konsensus di antara anggotanya.
4. Seringkali
mengalami konflik di antara kelompok.
5. Integrasi
sosial tumbuh atas paksaan.
6. Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok.
Faktor-faktor
yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia terjadi:
1. Faktor
geografis indonesia yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya suku-suku
bangsa di Indonesia.
2. Letak
Indonesia di antara samudra Indonesia dan samudra pasifik sangat mempengaruhi
terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
3. Iklim
yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah
di kepulauan nusantara ini.
Kemajemukan
yang terjadi di Indonesia dapat dilihat secara horizontal (suku, ras, dan
agama) maupun vertikal (tingkat ekonomi, pendidikan, kepentingan, dll). Hal ini
mengakibatkan adanya kesenjangan (gap) di semua aspek kehidupan masyarakat
Indonesia.
BAB IV
STRUKTUR KEPARTAIAN
SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Kemajemukan yang terjadi di
Indonesia telah membentuk dan menjadi dasar pengelompokan masyarakat Indonesia.
Adanya pengelompokan sosial membentuk suatu kelompok kepentingan atas berbagai
dasar yang disebur sebagai partai politik. Berikut ini beberapa partai politik
di Indonesia masa Hindia-Belanda beserta latar belakangnya:
1. Partai
Masyumi
Partai ini merupakan gabungan dari
islam golongan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) yang pada akhirnya NU
memutuskan untuk keluar dari keanggotaan partai karena memiliki pandangan yang
berbeda. Masyumi menjunjung tinggi medernisasi islam.
2. Partai
Nahdatul Ulama (NU)
Merupakan partai yang mempunyai
pandangan anti modernisme islam. Partai ini beranggotakan masyarakat perdesaan
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3. Partai
Nasional Indonesia (PNI)
Partai nasionalis yang mempunyai
ideologi marhaenisme dan partai ini memperoleh dukungan dari elit birokrasi
(tradisional jawa yang berpendidikan).
4. Paratai
Komunis Indonesia (PKI)
Sama halnya dengan PNI, PKI juga
memperoleh dukungan yang kuat dari golongan islam non-santri di daerah jawa
tengah dan jawa timur terutama dari daerah perdesaan.
5. Partai
Sosialis Indonesia (PSI)
Partai ini memperoleh dukungan dari
golongan elit berpendidikan, namun partai ini kurang mendapat perhatian dari
masyarakat perdesaan. Oleh karena itu PSI memeperoleh dukungan terbesar dari
luar jawa.
6. Partai
Katholik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
Partai yang berasaskan katholik dan
kristen ini hanya mampu memasuki daerah-daerah yang belum terpengaruh agama
islam, hindu, maupun budha. Contohnya: Maluku, Tapanuli, Sulawesi Utara, dan
Nusa tenggara.
Melihat
struktur yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa konflik antar partai
poliyik di Indonesia pada masa silam merupakan konflik antara kelompok-kelompok
sosial kultural berdasarkan perbedaan suku, agama, daerah dan stratifikasi
sosial.
0 komentar
Posting Komentar