Label 3

Minggu, 23 Februari 2014

SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
 

BAB I
PENDAHULUAN

            Sejarah mengatakan bahwa persoalan tentang konflik antar kekuatan-kekuatan sosial politik di Indonesia sangatlah banyak dan beragam. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain DI/TII, pemberontakan PRRI-Permesta dan G30 S/PKI. Konflik-konflik ini terjadi di tengah pertentangan-pertentangan pendapat mengenai falsafah “konsensus nasional” yang seharusnya menjadi landasan bagi seluruh tingkah laku masyarakat Indonesia. Keadaan tersebut membuktikan bahwa semboyan “Bhineka Tunggal Ika” masih merupakan sebuah cita-cita yang harus diperjuangkan bangsa Indonesia daripada sebagai kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu konflik masih menjadi masalah yang rawan bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang, karena proses pebangunan yang akan semakin meningkatkan perbedaan kepentingan antar golongan.
            Pada hakikatnya konflik adalah suatu gejala sosial yang melekat dalam kehidupan setiap masyarakat dan oleh karenanya melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa. Dari situlah muncul suatu pertanyaan :” faktor-faktor laten apakah yang sesungguhnya telah menimbulkan konflik-konflik sosial di Indonesia?”. Pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang mendalam akan sumber-sumber yang menyebabkan konflik. Dengan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan  konflik akan memungkinkan untuk membentuk kebijaksanaan yang bersifat fudamental untuk mengeliminir sumber-sumber konflik tersebut serta menghindari kemungkinan timbulnya konflik-konflik sosial politik semacam itu di kemudian hari.
            Konflik akan terselesaikan dengan jalan integrasi. Maka dari itu menculah suatu pertanyaan kembali :”Faktor-faktor apakah yang mampu mengintegrasikan masyarakt Indonesia yang memiliki kondisi-kondisi konflik?”. Dari jawaban pertanyaan tersebut akan muncul berbagai sudut pandang atau pandangan antara konflik dan integritas. Salah satunya adalh pendekatan teoritis yang akan dibahas kali ini. Pendekatan teoritis hanyalh salah satu dari pendekatan sosiologi.

BAB II
PENDEKATAN TEORITIS

            Ada dua macam pendekatan yang paling populer dalam pembahasan masalah konflik dan integrasi. Dua macam pendekatan tersebut adalah pendekatan struktural fungsional (structure- functional approach) dan pendekatan konflik (conflict approach). Penjelasan lebih lanjut dari kedua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Pendekatan struktural fungsional (Structural-functional approach)
Pendekatan stuktural fungsional atau yang bisa disebut dengan integration approach, order approach, maupun equilibrium approach adalah suatu pendekatan yang melihat bahwa masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem yang secara fungsional terintregasi ke dalam suatu bentuk equilibrium (keseimbangan) . Tokoh – tokoh penganut pendekatan ini antara lain : Plato, Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile durkheim, Brorislaw Malionowshi, Redcliffc Brown, dan Talcott Parson. Beberapa anggapan dasar dari parson dan para pengikutnya terkait pendekatan fungsionalisme sruktural, antara lain :
a.     Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem bulan berupa bagian – bagian yang saling berhubungan.
b.    Hubungan pengaruh mempengarui bagian  - bagian bersifat ganda dan timbal balik.
c.     Meskipun intergrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.
d.    Meskipun ada di fungsi, ketegangan dan penyimpangan namun pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses integrasi.
e.     Perubahan – perubahan sosial yang terjadi biasanya bersifat gradual dan tidak secara revolusioner.
f.     Perubahan sosial timbul disebabkan oleh 3 kemungkinan : Penyesuaian terhadap perubahan dari luar,pertumbuhan melalui diferensiasi dan fungsional,penemuan baru oleh masyarakat.
g.    Adanya konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan tertentu.
Di dalam pendekatan struktural fungsional dikenal dengan adanya norma– norma sosial. Karena norma sosial itulah yang membentuk struktur sosial. Sehingga tingkah laku mereka kemudian terjalin semedekian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial tertentu. Pendekatan ini mendapat kritikan dari David Lockwood. Anggapan dasar bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium, sehingga mengabaikan beberapa hal – hal sebagai berikut :
·      setiap faktor sosial mengandung konflik – konflik internal
·      Ada faktor eksternal yang memperngaruhi perubahan sosial
·      Suatu sistem sosial pasti mengalami konflik
·      Perubahan sosial tidak selalu berubah secara gradual

2.    Perdekatan konflik (Conflict approach)
Adanya kelemahan–kelemahan dari pendekatan struktural, memunculkan suatu pendekatan yang lain yaitu pendekatan konflik (Conflict approach). Pendekatan konflik melihat bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antar kepentingan, baik dari Anggapan–anggapan dasar pendekatan konflik, antara lain :
·         Masyarakat selalu mengalami perubahan – perubahan.
·         Setiap masyarakat mengandung konflik di dalamnya.
·         Unsur – unsur dalam masyarakat memicu adanya disintegrasi dan perubahan sosial.
·         Setiap masyarakat terintegrasi oleh paksaan dari pihak lain,
Dengan adanya konflik, maka akan muncul berbagai bentuk pengendalian sosial, antara lain :
1.    Konsiliasi (Conciliation) : melakukan diskusi antar pihak yang bertentangan melalui lembaga–lembaga. Syarat lembaga tersebut antara lain :
·      Lembaga bersifat otonom.
·      Lembaga bersifat monopolistis.
·      Lembaga harus bersifat netral.
·      Lembaga harus bersifat demokrasi.
2.    Mediasi : Penyeselan konflik melalui pihak ketiga untuk memberikan nasihat nasihat terbaik.
3.    Arbitration : Penyesalan konflik melalui  pihak ketiga untuk memberikan keputusan– keputusan terbaik.
Dengan pengendalian konflik sosial yang efektif, konflik–konflik sosial akan dapat menjadi kekuatan yang mendororong terjadinya perubahan–perubahan sosial yang tidak akan mengenal akhir.
BAB III
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA

            Pendekatan konflik dan pendekatan struktural fungsional yang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing alangkah baiknya jika mampu disintesakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Sejak zaman Hindia-Belanda struktur masyarakat Indonesia adalah majemuk (plural societies), yakni masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Hal ini terlihat dari tidak adanya kehendak bersama (common will). Kemajemukan tersebut juga dapat dilihat dari adanya pembagian golongan (pribumi, eropa, dan tionghoa) di Indonesia. Hal ini mengakibatkan adanya konflik di dalam masyarakat baik itu antara kaum modal dan buruh, kota dan desa, dll. Konsep kemajemukan di atas memang terjadi pada masa Hindia-Belanda, namun dengan mengikuti modifikasi konsep ini masih relevan untuk masa kini.
            Karakteristik masyarakat majemuk menurut Peter L. van den Berghe, antara lain:
1.      Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang serigkali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.      Sruktur sosial terbagi dalam lembaga non komplementer.
3.      Kurang mengembangkan konsensus di antara anggotanya.
4.      Seringkali mengalami konflik di antara kelompok.
5.      Integrasi sosial tumbuh atas paksaan.
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok.
Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia terjadi:
1.    Faktor geografis indonesia yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya suku-suku bangsa di Indonesia.
2.    Letak Indonesia di antara samudra Indonesia dan samudra pasifik sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
3.    Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan nusantara ini.
Kemajemukan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat secara horizontal (suku, ras, dan agama) maupun vertikal (tingkat ekonomi, pendidikan, kepentingan, dll). Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan (gap) di semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

BAB IV
STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA

            Kemajemukan yang terjadi di Indonesia telah membentuk dan menjadi dasar pengelompokan masyarakat Indonesia. Adanya pengelompokan sosial membentuk suatu kelompok kepentingan atas berbagai dasar yang disebur sebagai partai politik. Berikut ini beberapa partai politik di Indonesia masa Hindia-Belanda beserta latar belakangnya:
1.    Partai Masyumi
Partai ini merupakan gabungan dari islam golongan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) yang pada akhirnya NU memutuskan untuk keluar dari keanggotaan partai karena memiliki pandangan yang berbeda. Masyumi menjunjung tinggi medernisasi islam.
2.    Partai Nahdatul Ulama (NU)
Merupakan partai yang mempunyai pandangan anti modernisme islam. Partai ini beranggotakan masyarakat perdesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3.    Partai Nasional Indonesia (PNI)
Partai nasionalis yang mempunyai ideologi marhaenisme dan partai ini memperoleh dukungan dari elit birokrasi (tradisional jawa yang berpendidikan).
4.    Paratai Komunis Indonesia (PKI)
Sama halnya dengan PNI, PKI juga memperoleh dukungan yang kuat dari golongan islam non-santri di daerah jawa tengah dan jawa timur terutama dari daerah perdesaan.
5.    Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Partai ini memperoleh dukungan dari golongan elit berpendidikan, namun partai ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat perdesaan. Oleh karena itu PSI memeperoleh dukungan terbesar dari luar jawa.
6.    Partai Katholik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
Partai yang berasaskan katholik dan kristen ini hanya mampu memasuki daerah-daerah yang belum terpengaruh agama islam, hindu, maupun budha. Contohnya: Maluku, Tapanuli, Sulawesi Utara, dan Nusa tenggara.
   Melihat struktur yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa konflik antar partai poliyik di Indonesia pada masa silam merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial kultural berdasarkan perbedaan suku, agama, daerah dan stratifikasi sosial.


0 komentar

Posting Komentar

Popular Posts