Label 3

Minggu, 23 Februari 2014

SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA MENGHAMBAT PENGUATAN DEMOKRASI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

            Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi. Demokrasi yang pada hakikatnya merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain bahwa dalam negara demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat yang itu artinya bahwa rakyat mempunyai peran dan andil yang besar dalam menentukan keputusan-keputusan bagi negaranya. Hal ini kembali menegaskan bahwa dalam negara demokrasi rakyat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan (decision making process). Pengambilan keputusan tersebut termasuk dalam memilih pemimpin mereka agar nantinya mampu memimpin negara mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Demokrasi di Indonesia ialah demokrasi pancasila, yaitu demokrasi yang berlandaskan atas nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan (kebebasan), persatuan, musyawarah mufakat, serta keadilan.
            Salah satu istrumen demokrasi ialah pemilu. Pemilu berusaha mewujudkan cita-cita demokrasi yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun karena tidak mungkin semua rakyat ikut memerintah, maka diciptakanlah demokrasi tidak langsung. Rakyat memilih wakilnya untuk memegang pemerintahan dalam periode tertentu. Namun rakyat tetap bisa menilai apakah mereka pantas dipilih kembali pada periode berikutnya, atau ditolak karena dinilai gagal pemerintah secara damai. Pemilu masih dianggap sebagai suatu jalan pelaksanaan demokrasi di suatu negara karena sejauh ini pemilu dianggap sebagai suatu cara terbaik yang dapat digunakan dalam memilih seorang pemimpin negara. Bahwa dengan pemilu jika pilihan rakyat itu di kemudian hari ternyata salah, maka rakyat mesti ikut bertanggungjawab, misalnya dengan tidak memilihnya lagi, inilah kelebihan mekanisme demokrasi: verifikasi , cek ulang, dan perbaikan, tidak absolute dan ditentukan satu atau beberapa orang.
            Pemilu yang ideal hendaknya pemilu yang berdasarkan atas undang-undang yang berlaku. Dalam undang-undang pemilu No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat, dewam perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah dalam pasal 5 yang bahwa pemilu dilaksanakan atas asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. enam azas pemilu tersebut sebenarnya telah menjunjung tinggi nilai demokrasi. Selain itu agar pemilu berjalan secara lancar, aman, efektif dan efisien hendaknya dalaksanakan dengan suatu sistem. Sistem tersebut yang dikenal dengan sistem pemilu. Seperti yang tercantum dalam Dalam Undang-Undang pemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah. Yang tercantum dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten / kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
            Sistem proporsional terbuka dianggap lebih demokratis jika dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup. Hal ini dikarenakan rakyat dan sebagian para politisi, menganggap sistem pemilu dengan cara proporsional tertutup anti demokrasi, kontra produktif dan juga bertentangan dengan cara transparansi yang tengah dijunjung oleh demokrasi. Dalam sistem proporsional tertutup pemilih (konstituen) tidak merasa terwakili, karena mereka hanya disodori gambar partai tanpa mengetahui siapa yang harus mereka pilih. Dengan begitu, rakyat pemilih tahu yang dipilihnya, tidak seperti membeli kucing di dalam karung, sebagaimana yang kerap kita lakukan. Dengan sistem proporsional terbuka maka diharapkan rakyat lebih mengetahui lebih dalam tentang calon wakil rakyatnya. Dengan begitu dengan sistem ini akan tercipta suatu demokrasi yang lebih kuat  karena rakyat lebih bebas memilih wakil rakyatnya yang akan menyuarakan berbagai aspirasinya di parlemen atau pemerintahan.
            Melihat begitu baiknya tujuan dari diberlakukannya sistem pemilu proposional terbuka yang mampu memperkuat sistem demokrasi dari beberapa aspeknya justru dalam implementasi sebenarnya sistem ini akan menghambat penguatan demokrasi Indonesia. Dengan sistem proporsional terbuka, yang akan tampil pada Pemilu hanyalah orang-orang yang cukup dikenal masyarakat atau dikenal konsituennya. Maka jangan harap akan muncul orang-orang yang tidak dikenal, karena ia pasti tidak akan dipilih rakyat. Menurut Pramono, “jika sistem pemilu masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, maka yang muncul orang-orang yang populer dan tidak akan mengubah wajah DPR saat ini”. Jadi, meskipun rakyat diberi kebebasan dalam memilih nama calon legislatif kalau calon tersebut orang-orang lama hal ini juga akan mengakibatkan kebebasan tersebut tak ada artinya.
            Selain itu, pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga akan mengakibatkan menguatnya ideologi pasar disertai dengan melemahnya ideologi partai politik. Melemahnya ideologi partai ini akan memunculkan suatu perjuangan individualisme partai. Hal ini terlihat dari semakin membesarnya dana kampanye dari setiap calon legislatif. Sejak diberlakukannya sistem ini biaya kampanye caleg rata-rata meningkat hingga tiga setengah kali lipat, yaitu berkisar dari 200 juta sampai 6 miliar rupiah. Dana kampanye ini akan terus meningkat jika sisten ini tetap dipertahankan. Hal ini juga mengakibatkan tergesernya para aktivis partai oleh pengusaha-pengusaha yang memiliki dana yang lebih besar. Hal lain yang akan menghambat penguatan demokrasi dari sistem proporsional terbuka ini ialah menjadikan partai politik hanya sebagai kemasan para caleg. Maka faktor pencitraan dan popularitas dari setiap caleg akan sangat menonjol pada sistem ini. Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya para artis yang maju sebagai calon legislatif serta meningkatnya pemberitaan atau pencitran seorang tokoh di berbagai media massa.
            Persoalan lain yang akan menghambat demokarasi terkait pelaksanaan sistem proporsional terbuka ialah melemahnya kinerja dari anggota dewan yang terpilih. Menurut Wakil Ketua MPR RI, Hajriyanto Y Thohari menilai, saat ini para anggota dewan telah kehilangan etos parlementarianismenya. "Yang masuk ke DPR, tak punya etos dan bahkan tak ada pemahaman yang cukup," katanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada sistem proporsional terbuka caleg yang terpilih belum tentu memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai sebagai anggota dewan. Bisa saja mereka hanya memanfaatkan popularitas dan kekayaannya untuk dapat duduk di parlemen, bukan karena kemampuaannya serta visi misinya dalam menyuarakan aspirasi rakyat. "Bahkan ada teman saya yang dua kali jadi anggota dewan tak pernah bersuara, dikutip koran saja belum pernah,  Eh  tiba-tiba masuk koran karena sudah meninggal dunia," kata Hajriyanto. Sedangkan Boni Hargens mengatakan demokrasi di Indonesia sudah dirampas kapitalis dan dirampas kekuasaan.
Yang tak kalah penting untuk disoroti dari sistem pemilu ini adalah proses rekruitmen partai politik. "Jadi selama sistemnya tak berubah, maka isinya juga tak akan sama. Persoalan rekrutmen di parpol juga menjadi masalah sendiri," kata Pramono. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tergiur untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.
Melihat berbagai persoalan yang menghambat penguatan demokrasi dari sistem pemilu proporsional terbuka ini yang seharusnya sistem ini mampu memperkuat sistem demokrasi di Indonesia, maka sangatlah penting bagi kita untuk membahas masalah ini lebih dalam. Kita sebagai pemilih pemula harus lebih cerdas dan cermat dalam menentukan calon legislatif mana yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas memadai. Jangan sampai kita justru terjerumus dengan permainan politik di negeri ini yang semakin gencar dengan adanya money politik. Oleh karena itu saya selaku penulis mengangkat sebuah judul Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Menghambat Penguatan Demokrasi Indonesia. Dengan demikian diharapkan kita akan mengetahui apa yang sebenarnya membuat sistem ini terkesan kontradiktif dengan tujuan dari diberlakukannya sistem ini serta mencoba mencari solusi terbaik apa untuk mengatasi masalah ini,

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pembatasan Istilah
Dalam penulisan makalah ini saya memberikan batasan serta pengertian-pengertiam dari istilah-istilah berikut ini:
1.         Pemilu dan Sistem Pemilu
Dalam demokrasi klasik, pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat. Berikut ini adalah beberapa pendapat para ahli mengenai definisi pemilu.
·           Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim: pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu.
·            Bagir Manan: Pemilhan umum yang diadakan dalam siklus lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.
Sedangkan sistem pemilu sendiri adalah metode yang mengatur dan memungkin warga negara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan prosedur dan aturan merubah ( mentransformasi ) suara ke kursi dilembaga perwakilan. Mereka sendiri maksudnya yang memilih maupun yang hendak dipilih merupakan bagian dari satu entitas yang sama.
Terdapat komponen-komponen atau bagian-bagian yang merupakan sistem tersendiri dalam melaksanakan pemilihan umum, antara lain:
Ø  Sistem pemilihan.
Ø  Sistem pembagian daerah pemilihan.
Ø  Sistem hak pilih.
Ø  Sistem pencalonan.
2.         Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani  (dēmokratía) yang artinya "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari kata dêmos atau "rakyat" dan kratos atau "kekuatan" atau "kekuasaan". Sedangkan menurut beberapa ahli, antara lain:
·      C.F. Strong 
Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
·      Rifhi Siddiq 
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kedaulatannya dipegang oleh rakyat bertujuan mensejahterakan rakyat dan hak dan kewajiban rakyatnya diakui secara hukum ketatanegaraan.
Ada dua bentuk demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demikrasi perwakilan. Sedangkan yang dilaksanakan di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka. Selain itu dalam demokrasi juga dijunjung tinggi beberapa prinsip demikrasi, anatara lain:
1.        Kedaulatan rakyat;
2.        Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3.        Kekuasaan mayoritas;
4.        Hak-hak minoritas;
5.        Jaminan hak asasi manusia;
6.        Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
7.        Persamaan di depan hukum;
8.        Proses hukum yang wajar;
9.        Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10.    Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11.    Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
3.         Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Secara umum ada dua macam sistem pemilu yang sering digunakan, yaitu sitem distrik dan proporsional (berimbang). Namun di sini saya hanya membatasi pada sistem proporsional (berimbang). Sistem proposional (berimbang) merupakan salah satu sistem pemilu, di mana kursi-kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan prosentase atau pertimbangan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Dalam sistem terbagi menjadi dua macam, yaitu terbuka dan tertutup. Sistem proporsional terbuka ialah memberikan keleluasaan bagi pemilih untuk memilih nama calon legislatif yang akan mereka pilih. Karena selain disodori gambar partai dalam sistem proporsional terbuka pemilih juga disodori daftar nama-nama calon legislatif. Hal ini berbeda dengan sistem pemilu proporsional tertutup. Dalam sistem tertutup pemilih hanya disodori gambar partai sedangkan nama-nama anggota legislatif yang akan duduk di parlemen akan ditentukan oleh partai politik itu sendiri sesuai dengan prosentase kursi yang diperoleh.

B.       Manfaat Pemilu
Pemilu dipandang sebagai bentuk yang paling nyata dari bentuk kedaulatan berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Penyelenggaraan Pemilu sangatlah penting bagi suatu negara, hal ini disebabkan karena :
·      Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
·      Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara konstitusional.
·      Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
·      Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
C.      Sistem Pemilu di Indonesia
Sampai tahun 2009 bangsa indonesia sudah sepuluh kali pemilihan umum diselenggarakan, yaitu dari tahun 1955, 1971,1977, 1982, 1992, 1997, 2004 dan terakhir 2009. semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung didalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah dilaksanakan juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1.      Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh kabinet Baharuddin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Dalam pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27 partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi  Parlementer berakhir.
2.      Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada bulan November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10 buah saja. Di zaman Demokrasi Terpimpin tidak diadakan pemilihan umum.
3.         Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat menaruh harapan untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokrati dan stabil. Usaha yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang masih baru bagi bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
4.      Zaman Reformasi (1998- 2009)
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu DPD (dewan perwakilan daerah). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kursi untuk setiap propinsi). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem proposional dengan daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi. Sistem yang sama yaitu sistem proporsional terbuka juga akan diterapkan pada pemilu tahun 2014 mendatang.

D.      Bentuk-Bentuk Penghambat Penguatan Demokrasi di Indonesia dalam Pelaksanaan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Pada dasarnya pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka bertujuan untuk memperkuat kesan demokrasi di Indonesia. Karena dengan sistem ini pemilu dianggap lebih transparan dan terbuka, karena memberi kebebasan bagi pemilih untuk menentukan nama calon yang akan mereka pilih. Sistem proporsional sebenarnya memiliki beberapa kelebihan antara lain:
·           Dianggap lebih mewakili suara rakyat karena perolehan suara partai sama dengan persentase kursinya di parlemen.
·           Setiap suara dihitung dan tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil dan minoritas bisa mendapat kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat mewakili masyarakat heterogen dan pluralis.
Namun faktanya yang terjadi di Indonesia sistem ini justru terkesan menghambat penguatan demokrasi. Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai persoalan dari diberlakukannya sistem ini. Sistem ini seakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adapun bentuk-bentuk penghambat penguatan demokrasi dari sistem proporsional terbuka ini antara lain:
1.         Pemilu hanya akan menampilkan calon-calon dari publik figur yang telah dikenal masyarakat. Maka jangan heran jika calon yang tidak terkenal akan memperoleh suara yang sedikit. Hal ini mengakibatkan sulitnya terjadi pergantian orang-orang yang duduk di parlemen. Dengan sistem ini akan sulit merubah orang-orang yang duduk di parlemen, sehingga wajah parlemen akan sulit berubah meskipun dilakukan pemilu.
2.         Menguatnya ideologi pasar disertai dengan melemahnya ideolegi partai. Pemilu ang seharusnya menjadi sarana untuk melakukan perbaikan pemerintahan oleh pemerintahan yang baru terhadap pemerintahan yang lama justru cenderung menjadi lahan bisnis bagi para pelaku politik. Hal ini dapat dilihat dari membesarnya dana kampanye bagi setiap calon-calon legislatif, sehingga muncul anggapan bahwa orang yang memiliki dana kampanye paling besar dapat menjadi pemenang. Dampaknya, hal ini akan mengakibatkan suatu praktek moneypolitic di masyarakat. Kebebasan suara dari masyarakat seakan bisa terbeli dengan uang. Inilah yang menjadi suatu penghambat penguatan demokrasi di Indonesia.
3.         Partai politik hanya terkesan sebagai kemasan para caleg. Hal ini dapat terlihat dari pelaksanaan pemilu tahun 2009 yang lalu yang banyak memunculkan para publik figur terkenal seperti, penyanyi, artis, pelawak, dll. Fenomena ini membuktikan bahwa partai politik hanya sebagai kemasan dari calon-calon ini. Sedangkan calon-calon yang diusung oleh partai politik ini belum tentu memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai sebagai anggota legislatif. Ini kembali menegaskan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka telah menghambat penguatan demokrasi di Indonesia melalui penyelewengan fungsi partai-partai politik di negara demokrasi.
4.         Melemahnya kinerja dari anggota dewan yang terpilih dari sistem pemilu ini. Anggota dewan (legislatif) yang seharusnya sebagai wakil masyarakat yang duduk di parlemen sebagai penyalur aspirasi rakyatnya dan memperjuangkan hak-hak rakyatnya, justru kurang mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Anggota dewan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan masyarakat. Hal ini dikarenakan para anggota dewan berusaha mencari modal kembali yang dikeluarkan saat pemilu. Ini membuktikan bahwa anggota dewan telah kehilangan etos parlementarianismenya. Fenomena ini kembali menegaskan bahwa sistem pemilu ini telah menghambat penguatan demokrasi melalui lunturnya hakikat demokrasi perwakilan yang berlaku di Indonesia.
Dari beberapa penjelasan di atas sebenarnya telah menggambarkan bahwa sistem proporsional terbuka telah mengakibatkan terhambatnya penguatan demokrasi di Indonesia. Sebenarnya masih banyak permasalahan lain dari sistem ini, baik itu yang berkaitan dengan sosial, budaya, maupun ekonomi. Tetapi nampaknya sudah cukup jelas dengan empat bentuk permasalahan yang telah dipaparkan di atas untuk menggambarkan pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia.

E.       Faktor-faktor Penyebab Masalah Tersebut
Setiap permasalahan tidak akan muncul dengan tiba-tiba tanpa suatu sebab. Termasuk beberapa permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya terkait pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.             Tidak berfungsinya partai-partai politik sebagaimana mestinya
Salah satu faktor yang menyebabkan permasalahan ini muncul dari partai politik yang merupakan pihak yang mempunyai andil besar dalam pemilihan umum. Partai politik yang merupakan faktor utama dalam pelaksanaan pemilu memiliki beberapa fungsi antara lain:
a.       Partai politik sebagai sarana komunikasi politik
Salah satu fungsi partai politik ialah komunikasi politik, yaitu menyalurkan berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat serta mengelolanya untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga untuk menyampaikan berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kepada masyarakat. Kegagalan fungsi ini terkait dengan pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka dapat dilihat dari partai politik yang tidak sepenuhnya mampu mengkomunikasikan kebijakan ini kepada masyarakat. Karena di dalam partai politik telah terjadi individualisme kader sehingga para kader partai cenderung lebih sering melakukan kampanye pribadi dibandingkan dengan komunikasi politik terhadap masyarakat.
b.      Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik
Di samping sebagai komunikasi politik, partai politik juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik. Sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku di dalam masyarakat. Maka dari itu di samping sebagai solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Namun fungsi ini seakan gagal di Indonesia. Partai politik di Indonesia hanya berperan sebagai kemasan bagi para caleg, sehingga partai politik yang seharusnya dapat menjadi sarana belajar bagi para kader tidak pernah terlaksana.
c.       Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Fungsi partai politik yang selanjutnya adalah sebagai sarana rekruitmen politik. Yaitu memilih para kader dan mendidiknya sedemikian rupa agar nantinya mampu menjadi kader partai yang profesional dengan segala kapasitas dan kapabilitasnya. Namun rekruitmen politik ini dapat dikatakan sebagai faktor utama yang menyebabkan pemilu proporsional terbuka menghambat penguatan demokrasi. Karena partai hanya merekrut kader untuk dijadikan caleg didasarkan atas unsur popularitas dan kemampuan dana semata tanpa melihat kemampuan orang tersebut. Selain itu proses pendidikan dalam partai yang gagal menambah nyata bahwa partai hanya melakukan tugasnya secara instan.
d.      Partai politik sebagai sarana pengatur konflik
Di negara demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan suatu hal yang wajar. Di sinilah peran partai poltik untuk meredam perbedaan tersebut agar jangan sampai terjadi konflik. Namun yang terjadi di lapangan partai politik hanya mementingkan kepentingan partainya sehingga membuat perbedaan pendapat tersebut semakin kontras. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi partai politik ini telah gagal.
2.             Kurangnya Pengetahuan Masyarakat akan Politik
Masyarakat selaku konstituen (pemilih) juga merupakan faktor yang menentukan apakah pemilu dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan atau tidak. Oleh karena itu partisipasi politik dari mayarakat yang proaktif sangat menetukan jalannya pemilu proporsional terbuka ini. Masyarakat dituntut cerdas dalam memilih calon legislatif yang dianggap mempunyai kemampuan yang memadai. Namun yang terjadi di Indonesia saat ini adalah sikap pragmatis dan apatis masyarakat terhadap pemilu. Keadaan ini tercermin di berbagai hal antara lain:
·         Masyarakat yang cenderung lebih memandang calon legislatif dari sisi popularitasnya tanpa mau mengetahui latar belakang, visi serta misi dari calon tersebut. Sehingga yang terjadi pada sistem pemilu proporsional terbuka ialah calon-calon legislatif yang kebanyakan dari publik figur yang terkenal. Seperti artis, pelawak, penyanyi, dll.
·         Masyarakat yang mudah dibeli suaranya dengan uang. Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang sulit membuat pengetahuan politik masyarakat rendah. Hal ini mengakibatkan mudahnya praktek moneypolitik di Indonesia. Oleh karena itu, selain faktor popularitas, faktor kemampuan dana juga sangat diperhitungkan dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Sehingga memunculkan nama-nama caleg dari kalangan pengusaha.
F.       Solusi yang dapat Dilakukan untuk Mengatasi Masalah Tersebut
Suatu masalah pasti dapat diselesaikan dengan solusi-solusi tertentu. Termasuk masalah sistem pemilu proporsional terbuka ini yang dalam pelaksanaannya justru menghambat penguatan demokrasi di Indonesia. Solusi-solusi tersebut sebenarnya hanya dapat menyelesaikan masalah jika didukung oleh berbagai pihak yang terkait. Solusi tersebut antara lain:
1.         Menertibkan kembali fungsi partai politik sebagaimana mestinya
Solusi ini akan berjalan dan dapat menyelesaikan masalah jika partai politik juga mau melakukan fungsinya secara benar sesuai fungsi-fungsi partai politik. Jika partai politik dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik bukan tidak mungkin jika yang menjadi tujuan dari sistem pemilu ini dapat tercapai.
2.         Memberikan pengetahuan politik kepada masyarakat
Sosialisasi politik merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan politik dari masyarakat. Hal ini juga harus didukung oleh berbagai pihak, baik itu partai politik, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri. Karena tanpa adanya sinergi dari berbagai pihak tersebut solusi ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah sistem pemilu proporsional tersebut. Karena jika masyarakat memiliki pengetahuan yang tingi akan politik bukan tidak mungkin masyarakat akan cerdas dalam menentukn pilihan terhadap calon legislatifnya.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya maka saya selaku penulis menarik beberapa kesimpulan yang antara lain:
1.      Sistem proposional (berimbang) terbuka merupakan salah satu sistem pemilu, di mana kursi-kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan prosentase atau pertimbangan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik dengan mencantumkan nama-nama calon-calon legislatif yang diusung oleh masing-masing partai politik untuk memberi kebebasan kepada pemilih untuk mengetahui dan memilih nama calon legislatifnya.
2.      Bentuk-bentuk penghambat penguatan demokrasi dari sistem proporsional terbuka ini antara lain:
·      Pemilu hanya akan menampilkan calon-calon dari publik figur yang telah dikenal masyarakat.
·      Menguatnya ideologi pasar disertai dengan melemahnya ideolegi partai.
·      Partai politik hanya terkesan sebagai kemasan para caleg.
·      Melemahnya kinerja dari anggota dewan yang terpilih dari sistem pemilu ini.
3.      Faktor yang menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka, antara lain:
·      Tidak berfungsinya partai-partai politik sebagaimana mestinya
·      Kurangnya Pengetahuan Masyarakat akan Politik
4.      Solusi yang dapat Dilakukan untuk Mengatasi Masalah Tersebut, antara lain:
·      Menertibkan kembali fungsi partai politik sebagaimana mestinya
·      Memberikan pengetahuan politik kepada masyarakat

B.       Saran
Dari paparan makalah tersebut penulis memberi beberapa saran kepada beberapa pihak untuk mengatasi masalah sistem pemilu proporsional terbuka, antara lain:
1.         Kepada pemerintah yang membuat kebijakan tentang sistem pemilu proporsional terbuka ini seharunya lebih mematangkan pelaksanaan sistem pemilu ini baik dari segi teknis maupun non teknisnya serta membuat undang-undang yang mengatur tentang prasyarat agar melaporkan dana kampanyenya.
2.         Partai-partai politik seharusnya menjalankan fungsi-fungsinya sebagaimana mestinya, yakni sebagai sarana komunikasi, sosialisasi, dan rekruitmen politik serta mampu menjadi perdam konflik di masyarakat.
3.         seharusnya KPU (Komisi Pemilihan Umum) berperan untuk meminta laporan dana kampanye. Karena ditakutkan dana kampanye yang banyak akan  mengindikasikan tindakan korupsi.
4.         Kepada masyarakat khususnya para pemilih (konstituen) seharusnya mampu berperan atau berpartisipasi politik secara cerdas, yakni dengan memilih para caleg yang berdasarkan atas kemampuannya dan latar belakanganya. Bukan berdasar atas popularitas dan uang semata.


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Renaldy. (2013). Rekonstruksi Sistem Pemilu 2014 untuk Siapa?. Diperoleh dari http://politik.kompasiana.com pada 2 Juni 2013
Budiarjo, Miriam. (1982). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Henni. (2012). Sistem Pemilu di Indonesia. diperoleh dari http://hennidamanik.blogspot.com/ pada 2 Juni 2013

Pramono Usulkan Sistem Gabungan Proporsional Terbuka. (2013). Diperoleh dari http://www.suarapembaruan.com pada 2 Juni 2013
Proporsional Terbuka Hambat Penguatan Sistem Demokrasi. (2013). Diperoleh dari http://www.suarapembaruan.com pada 2 Juni 2013

 





1 komentar

Vasindo Persada 26 Februari 2019 pukul 00.46

terimakasih informasinya sangat bermanfaat. Kunjungi website bongkar pasang rak solusi rak pergudangan anda

Posting Komentar

Popular Posts