Label 3

Minggu, 23 Februari 2014

MENGAPA RAYKAT PAPUA INGIN BERPISAH DARI NKRI?

MENGAPA RAYKAT PAPUA INGIN BERPISAH DARI NKRI?

JAKARTA - Semua orang Indonesia yang cinta Papua boleh-boleh saja tidak rela, apabila pulau di ujung Timur Nusantara itu lepas dari NKRI. Masyarakat Papua sendiri, belum tentu semuanya ingin lepas dari NKRI. Akan tetapi salah satu persoalan yang cukup mendasar adalah bagi rakyat Papua keinginan memisahkan diri itu dianggap sebagai pilihan yang jauh lebih baik. Penyebabnya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selama 50 tahun terakhir ini, tidak membuat kehidupan masyarakat Papua di pulau nan kaya itu, lebih baik dan sejahtera. Marginalisasi terhadap Papua dan masyarakatnya jauh lebih menonjol dibanding usaha-usaha memperbaikan kehidupan lebih sejahtera.
Gejolak-gejolak yang muncul di Papua belakangan ini, coba ditangani oleh Unit Kerja Khusus yang dibentuk Presiden SBY. Unit kerja itu dikepalai oleh Bambang Darsono, seorang jenderal TNI AD berpengalaman di bidang teritorial dan juga merupakan salah seorang jenderal yang dipercaya SBY. Tapi Darsono pun tampaknya tidak bisa berbuat maksimal. Darsono memiliki keterbatasan. Entah keterbatasan dana operasi, staf pendukung atau bahkan mungkin kewenangan. Kehidupan masyarakat Papua terutama yang berada di daerah yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang atau jalan kaki, tak ubahnya dengan kehidupan di jaman primitif.
Ironisnya kehidupan yang serba minim ini, tak pernah terpikirkan oleh para pengambil keputusan di Jakarta apalagi dihayati. Semakin jauh letak daerah yang memiliki permasalahan - dengan Jakarta sebagai pusat pengambilan semua keputusan terpenting, semakin jauh kepedulian para birokrat itu. Apalagi masih banyak birokrat yang berpikir untuk kepentingan diri sendiri termasuk mereka senang melakukan korupsi atas uang rakyat.
Johanes Lokobai dari desa Megapura misalnya, saking miskinnya sehingga tidak pernah bisa mengenyam pendidikan, tidak tahu berapa sebenarnya usianya. Johanes tidak tahu kapan dia lahir dan dimana dilahirkan. Kedengarannya absurd, tetapi itulah salah satu karikuatur kehidupan rakyat Papua.
"Saya cuma tahu, bahwa usia saya sudah tua," katanya seperti dilaporkan Michael Bachalard, wartawan Australia yang bertugas di Indonesia untuk media dari kelompk Fairfax, Sydney Morning Herald.
Michael dalam laporannya 4 Maret 2013 dengan judul "They Are Taking Our Children", secara gamblang menulis sebuah "operasi cuci otak" yang dilakukan oleh sebuah lembaga terhadap ribuan anak-anak Papua.
Laporan ini sekilas, berat sebelah. Menunjukkan keberpihakan media Barat khususnya Australia terhadap Papua dan penduduknya aslinya yang dianggap masih bertautan dengan warga Australia, etnik Aborigin. Laporan ini, jika tidak dibaca dengan tenang apalagi tidak menggunakan hati sebagai pisau analisa, akan dilihat sebagai sebuah laporan yang memprovokasi.
Untuk akuntabilitas laporan tersebut, Michael menemui sejumlah nara sumber yang kredibel termasuk membuat foto-foto yang mendukung laporannya tersebut. Michael juga memasukkan pengalaman pribadinya, yang diancam agar tidak melaporkan apa yang sedang dia investigasi.
Laporan wartawan Australia itu dengan cepat menyebar, setelah Rianti Amelia, salah seorang Facebooker yang mengunduhnya kemudian menyebarkan kepada ribuan sahabatnya. Rianti membumbuhi catatan, bahwa laporan yang dibuat wartawan Australia itu, tidak akan bisa ditemukan di media-media Indonesia, sebab wartawan Indonesia tidak punya keberanian seperti jurnalis Australia.
Secara implisit Rianti Amelia menyindir semua tulisan atau laporan yang diturunkan media di Indonesia. Wartawan Indonesia tidak memahami keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di perut pulau Papua. Sehingga persepsi dan perspektif yang didapat pembaca (Indonesia) tentang persoalan Papua, keluar dari konteks.
Dengan persepsi yang keluar konteks tersebut, kontrol sosial media-media Indonesia, tidak akan pernah efektif. Hasilnya, pemerintah apakah itu Presiden SBY atau aparat yang lebih rendah, tidak akan bisa tampil dengan solusi yang tepat. Dengan kata lain, jika masyarakat internasional pada akhirnya mendukung perjuangan OPM agar pulau itu menjadi sebuah negara merdeka, hal tersebut bukan sebuah kesalahan.
Keberpihakan kepada OPM justru lebih masuk akal. Sebab organisasi yang dituduh Indonesia sebagai gerakan separatis itu lebih jelas dan fokus perjuang mereka. OPM tidak sekadar memperjuangkan sebuah negara merdeka, tetapi memperjuangkan kemerdekaan yang paling azasi dari setiap anak manusia. Masyarakat internasional mendukung OPM sebab mereka lebih memiliki informasi yang komprehensif dibanding masyarakat Indonesia sendiri.
Dalam laporannya Michael tidak menyinggung sama sekali tentang perjuangan OPM. Tetapi melihat jarak waktu antara tanggal laporan itu diturunkan dengan tanggal pembukaan kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, pertengahan April lalu, bukan mustahil, keduanya saling memiliki keterkaitan. Secara politik Inggris tetap mengakui kedaulatan Indoneisa atas seluruh wilayah Papua. Tetapi pejabat-pejabat pemerintah Inggris sebagai manusia beradab dan berbudaya juga tidak bisa menutup telinga dan mata atas laporan berupa "second opinion" tentang Papua.
Dalam arti pemerintah Inggris sendiri, tidak bisa melarang warga Oxford untuk memberikan izin pembukaan kantor OPM di salah satu wilayah Inggris. Karena pertimbangannya lebih didasarkan pada alasan kemanusiaan. Bahwasanya Inggris mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI, tetapi juga berharap dari Indonesia agar pengakuan itu dibarengi dengan perlakuan yang berkeadaban terhadap seluruh rakyat Papua.
Bagi Indonesia laporan yang mengungkapkan tentang penderitaan yang melampaui batas menurut standar peradaban bangsa Barat (Inggris), hanya dianggap sebagai sebuah persoalan biasa yang memerlukan perhatian "hari ini juga". Perbedaan-perbedaan persepsi inilah yang nampaknya membuat masalah Papua berkembang seperti yang terjadi selama ini. Ditambah lagi ada kesan media-media Indonesia, kurang berani melaporkan keadaan yang sesungguhnya tentang apa yang dialami dan dirasakan oleh rakyat Papua.

Sumber : http//waspadaonline.com yang diperoleh tanggal 21 November 2013


Analisa Peristiwa

            Peristiwa di atas pada dasarnya menjelaskan mengenai disintegrasi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) atau yang dapat dikatakan sebagai sparatisme. Nampaknya bukan kali pertama Indonesia mengalami kasus seperti ini. Pada tahun 1998 tepatnya pada masa pemerintahan B.J Habibie satu daerah di Indonesia melepaskan diri dari NKRI, yaitu timor-timor yang kini dikenal dengan nama Timor Leste. Bukan hanya itu saja, banyak sekali kasus-kasus terkait gerakan sparatisme di Indonesia, misalnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) dan masih banyak lagi gerakan sparatisme yang mengatasnamakan suku, ras dan agama.
Banyak sekali alasan yang mungkin menjadi sebab daerah-daerah tersebut untuk memisahkan diri dari NKRI. Hal tersebut dapat ditinjau dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Ketidakadilan dan ketidakmerataan distribusi faktor-faktor dari bidang-bidang yang telah disebutkan sebelumnya mungkin menjadi salah satu hal utama yang menjadi alasan bagi terbentuknya gerakan-gerakan sparatisme di Indonesia.
Selain itu implementasi dari adanya otonomi daerah nampaknya belum mampu menyelesaikan masalah ini. Justru yang terlihat bahwa otonomi daerah akan memicu terjadinya disintegrasi NKRI. Hal tersebut dapat kita simak dari peristiwa di atas yang menjelaskan bahwa masih banyak masyarakat papua yang tidak mampu mengenyam pendidikan padahal jika dilihat secara geografis papua termasuk daerah yang memilki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam yang seharusnya mampu menyejahterakan masyarakat papua justru dinikmati oleh kalangan-kalangan yang dapat dikatakan mampu sedangkan papua tetap menjadi daearah yang kurang menjadi perhatian pembangunan negara ini.
Jika menyimak kembali peristiwa di atas selain faktor internal (dalam negeri), faktor eksternal (luar negeri) juga turus mempengaruhi terbentuknya gerakan sparatisme di papua (OPM). Dijelaskan bahwa inggris sangat mendukung jika papua menjadi negara yang merdeka. Melihat hal ini Indonesia seharusnya bisa mengambil tindakan agar nantinya kejadian 15 tahun silam tidak terulang kembali. Biar bagaimanapun juga Papua sendiri masih merupakan bagian dari NKRI yang mana jika daerah yang memilki potensi alam luar biasa ini lepas dari Indonesia nantinya akan memperburuk hakikat atau esensi dari NKRI itu sendiri di samping segala bentuk dampak yang akan diperoleh Indonesia
Setelah menyimak peristiwa di atas setidaknya ada dua faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya gerakan sparatisme di tanah Papua (OPM), yaitu:
1.    Faktor Internal (dalam negeri)
Faktor internal sendiri meliputi banyak hal yang dapat kita lihat dari berbagai sudut pandang, antara lain politik, ekonomi, sosial, dll. Dari segi politik misalnya jika kita lihat tidak banyak orang papua yang mampu duduk di parlemen maupun jabatan –jabatan pemerintahan hal ini yang membuat aspirasi masyarakat papua kurang tersalurkan karena memang sedikit sekali orang yang menyampaikan aspirasi masyarakat papua. Dari segi ekonomi banyak sekali kasus yang dapat kita ambil sebagai contoh misalnya kurang meratanya distribusi pembangunan dari pusat ke tanah papua sehingga mengakibatkan pembangunan kesejahteraan masyarakat papua kurang merata. Sedangkan jika dari segi sosial sendiri misalnya ketika kita melihat kurangnya sarana pendidikan dan kesehatan yang mengakibatkan banyak masyarakat papua yang tidak memperoleh hak-haknya secara penuh.
2.    Faktor Eksternal (luar negeri)
Jika melihat dari kasus atau peristiwa di atas maka yang menjadi faktor eksternal adalah faktor yang muncul dari negara lain. Negara lain dapat mendukung terjadinya sparatisme atau disintegrasi di suatu negara melalui berbagai cara, antara lain materi, ideologi, media, dll. Negara yang sering melakukan hal ini adalah negara adikuasa yaitu Amerika Serikat. Amerika Serikat telah berhasil memecah belah negara-negara di dunia ini seperti libya, mesir, suriah, dll.
            Dari kasus yang telah dipaparkan di atas mengenai gerakan sparatisme yang terjadi di Papua menjelaskan bahwa hal tersebut telah melahirkan suatu penyelewengan terhadap nilai-nilai dalam pancasila. Jika kita menelaah lebih dalam, dari peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sudah tidak relevan lagi dengan implementasi di masyarakat Indonesia. Pancasila yang seharunya mampu menjadi identitas nasional sebagai asas persatuan, kesatuan damai, kerjasama, hidup bersama dari bangsa Indonesia yang warga-warganya sebagai manusia memang mempunyai kesamaan dan perbedaan justru hanya mampu menjadi sebuah simbol yang seakan tidak ada artinya. Dari sini saya akan mencoba untuk menganalisis satu persatu dari sila-sila yang terdapat dalam pancasila yang tidak relevan dengan kasus atau peristiwa di atas. Hal-hal dari kasus di atas yang tidak relevan dengan sila-sila pancasila, antara lain:
v  Sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
Melihat peristiwa tersebut banyak sekali kasus yang tidak relevan lagi dengan sila ke-2 dari Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Pada dasarnya makna dari istilah adil dan beradab pada sila tersebut adalah bahwa yang dimaksud adil yaitu bahwa keadilan manusia itu sendiri terhadap diri sendiri, orang lain dan tuhan sedangakan istilah beradab sendiri mempunyai makna terlaksananya penjelasan daripada unsur-unsur hakekat manusia, jiwaraga, akal rasa, kehendak serta sifat kodrat seseorang sebagai makhluk tuhan dengan kata lain adalah terpenuhinya hak-hak asasi manusia.
Sila kedua ini juga mengandung makana bahwa warga negara Indonesia mengakui adanya manusia yang bermartabat dan memperlakukan manusia secara adil dan sesuai dengan kodratnya di mana manusia memilki daya cipta, rasa, niat dan keinginan. Implementasi dari sila kedua tersebut antara lain:
·      Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban antar sesama manusia
Butir ini menghendaki bahwa setiap manusia mempunyai martabat, sehingga manusia tidah boleh dihalangi untuk hidup secara layak, serta menghormati kepunyaan atau milik orang lain dan menghormati hak-hak asasi manusia lain seperti hak hidup, rasa aman, dan hidup layak.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan kasus atau peristiwa yang terjadi di daerah-daerah terluar Indonesia yang jauh dari pusat pemerintahan. Setiap warga negara yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal hak-haknya seperti kehidupan layak, kesehatan, pendidikan, dll justru tidak diperoleh oleh warga negara yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari pusat. Kurangnya pemerataan distribusi pembangunan menjadi salah satualasan yang menyebabkan hal ini. Oleh sebab itu, jangan heran ketika banyak daerah-daerah terluar Indonesia yang mana mereka menuntut untuk lepas dari NKRI. Mereka merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah atas hak-haknya. Padahal tidak sedikit pendapatan negara yang diperoleh dari hasil alam di daerah mereka. Dengan melepaskan diri dari NKRI harapannya bahwa mereka akan sejahtera dengan sumber daya alam yang mereka miliki untuk kepentingan masyarakat mereka.
·      Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
Pada butir ini dijelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dengan baik seperti, mengakui adanya masyarakat yang majemuk, saling menghargai perbedaan baik itu ras, suku dan agama, melaksanakan perbuatan atas dasar kejujuran dan kompetisi yang sehat serta memperhatikan kehidupan yang layak antar sesama, dan melakukan kerjasama dengan itikad baik dan tidak curang.
Namun faktanya yang terjadi di Indonesia nampaknya berkata lain. Hal tersebut dapat dilihat pada kasus sparatisme yang dipaparkan di atas. Bahwa yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah yang dicita-citakan pancasila. Banyak sekali pelanggaran yang terjadi dalam peristiwa tersebut, misalnya pada kasus sparatisme tersebut biasanya rakyat papua dianggap sebagai masyarakat yang terbelakang dan kurang dihargai oleh karena itu tidak banyak orang-orang papua yang mampu mengemukakan pendapatnya di pemerintahan. Selain itu antar warga negara sendiri nampaknya kurang terjadi adanya kerjasama, bahkan ketika orang jawa bertemu dengan orang-orang papua dalam benaknya mereka adalah orang yang masih primitif dan kurang berpendidikan.
·      Berani Membela Kebenaran dan Keadilan
Butir ini menghendaki bahwa setiap warga negara Indonesia hendaknya mempunyai hati yang mantap dan kepercayaan diri untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Contoh perbuatan dari butir tersebut misalnya perbuatan melawan tindakan korupsi, nepotisme, ketidakadilan, dll. Selain itu sikap diskriminatif terhadap suatu golongan hendaknya harus kita lawan. Jangan sampai kita hanya bersikap acuh terhadap hal tersebut.
Melihat peristiwa yang terjadi di Papua tersebut hendaknya mereka kita bela. Mereka juga masih termasuk dalam warga negara indonesia yang patut kita perjuangkan hak-haknya. Sikap diskriminatif yang ditunjukkan pemerintah terhadap masyarakat papua hendanya kita lawan. Kita jangan hanya melihatnya sebagai sebuah masalah sepele dan mengacuhkan begitu saja. Jika nantinya Papua benar-benar lepas dari NKRI jangan hanya menyalahkan pemerintah dan masyarakat papua. Kita juga harus menyadari bahwa kita juga tidak mampu menjaga papua untuk tetap berada dalam NKRI.
·      Tidak Semena-mena terhadap orang lain
Semena-mena yang dimaksud di sini adalah sewenang-wenang, berat sebelah dan tidak seimbang. Oleh sebab itu butir ini menghendaki, perilaku setiap manusia terhadap orang lain haruslah menjunjung hak dan kewajiban. Karena pada hakikatnya manusia mempunyai martabat dan berhak untuk hidup yang layak. Termasuk juga daerah-daerah di pinggiran atau terluar wilayah NKRI yang pelu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Sikap pemerintah terhadap daerah-daerah terluar tersebut nampaknya sudah dapat dikatakan sebagai perbuatan semena-mena. Bagaimana tidak, jika kita melihat lebih seksama distribusi pembangunan yang terbesar adalah diberikan kepada daerah-daerah pusat seperti jawa, bali, madura dan sumatra. Sedangkan daerah-daerah terluat seperti Papua hanya mendapatkan bagian yang kecil dari APBN negara. Terlihat jelas bahwa pemerintah telah berat sebelah dan tidak seimbang dalam hal ini. Hal inilah yang sering menjadi alasan Papua ingin lepas dari NKRI.
v  Sila ke-3 (Persatuan Indonesia)
Kasus sparatisme yang dikemukakan di atas sesungguhnya paling tidak relevan jika kita kaitkan dengan pancasila terutama sila ketiga ini. Pancasila yang seharusnya mampu menjadi pemersatu bangsa justru tidak bisa mengatasi masalah-maslah yang berkaitan dengan disintegrasi negara. Sila ketiga ini merupakan penjabaran dari dua sial sebelumnya yaitu sila pertama dan kedua. Hakekat setiap manusia termasuk warga Indonesia adalah manusia merupakan makhluk tuhan dalam kesatuan hubungan dengan sesama manusia sebangsa yang tercakup dalam kesatuan hubungan dengan sesama umat manusia sebagai makhluk tuhan. Sila ke tiga ini sebenarnya cakupannya lebih sempit jika dibandingkan sila pertama dan kedua. Karena pada sila ketiga ini yang disinggung adalah persatuan Indonesia, sedangakan sila pertama dan kedua lebih memilki makna yang luas.
Sila persatuan Indonesia pada dasarnya merujuk pada persatuan yang utuh dan tidak terpecah belah. Perbedaan-perbedaan yang ada di negara ini baik itu perbedaan agama, suku, dan ras bukanlah menjadi penghalang bagi bangsa Indonesia untuk bersatu. Selain itu wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan jangan sampai pula menjadi penghambat bagi terciptanya persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Persatuan tersebut dapat tercipta jika setiap warga negara memilki cita-cita dan tujuan yang sama yaitu untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas, negara yang berdaulat, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan perdamaian abadi. Jika cita-cita ini merupakan tujuan yang sama-sama dijunjung oleh setiap warga negara Indonesia maka bukanlah yang sulit untuk menciptakan persatuan di bumi pertiwi ini.
Adapun butir-butir implementasi dari sila ketiga ini, antara lain:
·      Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan serta keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Pada butir ini mengharapkan bahwa pada implementasinya pancasila hendaknya mampu menciptakan suatu pola pemikiran setiap manusia untuk mementingkan kepentingan umum atau negara di atas kepentingan pribadi. Kepentingan umum ialah segala bentuk kepentingan yang mana tujuan dan dampaknya lebih besar bagi masyarakat atau warga negara sedangkan kepentingan pribadi hanyalah suatu kepentingan yang didasarkan pada tujuan pribadi maupun golongan tertentu. Jika hal tersebut dapat ditanamkan kepada setiap warga negara termasuk pemerintahan maka hal-hal seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perang antar suku, perang antar agama, dll tidak akan terjadi.
Hal ini bertentangan dengan peristiwa atau kasus yang telah dipaparkan di atas terkait sparatisme. Banyak pejabat pemerintahan yang justru melakukan tindakan korupsi dan kurang memperhatikan daerah-daerah terluar Indonesia termasuk papua. Unsur-unsur rasisme kadangkala juga masih banyak terjadi. Banyak orang yang masih melihat orang lain dari sisi golongannya apakah itu orang beragama A, suku B, ras C, dll. Hal inilah yang senantiasa mewarnai distribusi pembanguna di daerah-daerah terluar Indonesia.
Tak hanya pemerintah saja, kita sebagai warga negara yang seharusnya bisa membantu kesejahteraan masyarakat papua cenderung masih terkesan acuh dengan mereka. Kita masih memandang diri kita lebih unggul dari mereka. Hal ini dapat terlihat ketika ada orang yang akan ditempatkan untuk bertugas atau bekerja di daerah papua mungkin dia akan berpikir dua kali untuk hal tersebut dengan berbagai alasan.
·      Cinta tanah air dan bangsa
Pada butir ini mengehndaki bahwa setiap warga negara harus memilki rasa cinta tanah air dan bangsa, bukan hanya cinta atas daerah, suku, maupun golongannya. Kecintaan akan tanah air dan bangsa dapat dilakukan dengan banyak cara seperti, mengembangkan kemampuan untuk berprestasi, melestarikan budaya, menjaga sumber daya alam, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dll. Namun semua hal tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan sarana dan prasaran dari pemerintah.
Jika menilik dan bertanya kepada masyarakat papua mungkin mereka akan merasa cinta terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Namun nampaknya Indonesia tidak cinta terhadap papua. Begitulah mungkin kata yang dapat dilukiskan untuk menggambarkan keadaan papua saat ini. Papua hanya memberikan segala kekayaan alamnya untuk Indonesia, namun Indonesia belum mampu memberikan kesejahteraan kepada semua masyarakat papua. Banyak rakyat papua yang masih hidup terbelakang dan di bawah garis kesejahteraan. Contoh kecilnya dapat dilihat dari proyek Freport di tanah papua yang mana pemlik gunung emas tersebut (rakyat papua) tidak mampu menikmati hasil dari alam mereka justru orang asing yang tak henti-hentinya mengeruk kekayaan mereka.  
·      Memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika.
Butir ini menghendaki adanya kerjasama antar semua suku, bangsa, dan agama di bebagai bidang baik itu ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Sehingga nantinya akan tercipta kerukunan, perdamaian dan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama akan tercipta karena pada dasarnya setiap suku, daerah, maupun bangsa memilki potensi dan keunggulan yang berbeda-beda. Jadi nantinya ketika terjadi kerjasama mereka dapat saling tukar-menukar potensi yang nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal yang terjadi di peristiwa di atas bukanlah demikian. Proses kerjasama dan tukar menukar potensi yang dimiliki daerah tidak berlaku untuk papua dan daerah-daerah terluar di Indonesia. Potensi alam yang melimpah di tanah papua nampaknya hanya dikeruk dan digerogoti pihak asing dan dinikmati hasilnya oleh daerah-daerah pusat. Sedangkan papua sendiri tidak memperoleh balas jasa dari yang mereka berikan. Hal ini dibuktikan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah di tanah papua. Layanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan yang rendah menjadi cerminan nyata betapa kesengsaraan masyarakat papua di negaranya sendiri. Oleh karena itu, hal ini semakin mempertegas alasan mengapa Papua ingin memerdekakan diri dari NKRI.
v  Sila ke-4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan)
Sama halnya dengan sila ketiga, sila keempat ini juga tidak mencakup keseluruhan manusia. Sila keempat yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ini mempunyai dua istilah utama yakni kerakyatan dan musyawarah. Kerakyatan mengandung arti bahwa negara adalah alat bagi keseluruhan rakyat serta pula demokrasi sosial-ekonomi sedangkan demokrasi atau demokrasi politiksebagai cita-cita bersama.
Sila keempat juga mempunyai makna bahwa indonesia memiliki asas demokrasi dan kedaulatan rakyat, artinya bahwa segala kebijakan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat di parlemen adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga pada akhirnya kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Jadi dengan kata lain DPR sebagai pihak yang mempunyai wewenang mengambil sebuah kebijakan haruslah memperhatikan aspirasi-aspirasi rakyatnya. Jangan sampai amanah yang diberikan kepada para anggota DPR ini tidak dilaksanakan secara tanggung jawab.
Implementasi yang seharusnya dilakukan atas dasar sila keempat ini antara lain, terciptanya pemerintahan yang jujur, bersih, dan bebas dari KKN, tersalurnya berbagai aspirasi rakyat di tingkat-tingkat daerah kepada pusat, tercapainya keputusan-keputusan melalui musyawarah untuk mufakat bukan melalui sistem voting, musyawarah yang dilakukan didasarkan atas akal sehat dan hati nurani bukan atas unsur paksaan dan suap.
Adapun butir-butir dari implementasi sila keempat yang sekiranya sudah tidak relevan dengan kasus sparatisme di atas, antara lain:
·      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
Dalam butir ini menghendaki bahwa segala keputusan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat adalah bertujuan untuk kepentingan negara dan masyarakat. Oleh karenanya wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR adalah pilihan rakyat sendiri melalui proses pemilu. Selain itu pemilu juga digunakan sebagai alat untuk menentukan wakil-wakil rakyat agar nantinya pada saat pengambilan keputusan wakil rakyat ini tidak memihak golongan tertentu atau partai politik tertentu.
Sedangkan fenomena yang terjadi dan sering kita lihat di parlemen adalah wakil-wakil rakyat yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan dan parpol tertentu. Mereka kurang memperhatikan kepentingan negara dan masyarakat. Ini terlihat dari kondisi mereka ketika mengikuti sidang-sidang DPR, banyak dari mereka yang tidur, ngobrol, bahkan absen tanpa keterangan. Aspirasi rakyat pun tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Apalagi masyarakat papua yang berada jauh dari pusat kota, masyarakat yang masih berada di pusat kota pun kurang diperhatikan.
Hal ini menegaskan bahwa pelaksanaan sila keempat sudah tidak relevan lagi. Dampaknya pun adalah masyarakat-masyarakat indonesia sendiri terutama masyarakat yang berada di daerah terluar Indonesia yang mana mereka akan sulit untuk melakukan pengawasan kepada wakil-wakil rakyatnya di parlemen. Akhirnya kesejahteraan masyarakat di luar daerah Indonesia termasuk Papua akan terabaikan oleh para wakil mereka di parlemen. Sehingga semakin kuat pula alasan mereka untuk memisahkan diri dari NKRI jika perwakilan mereka di DPR tidak berubah.
·      Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat di parlemen hendaknya menjunjung tinggi asas-asas kebenaran dan keadilan. Keputusan tersebut hendaknya tidak merugikan salah satu pihak maupun membela pihak atau golongan tertentu. Selain itu keputusan yang telah dibuat harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak melaggar hak-hak asasi manusia.
Sedangkan yang terjadi di Papua sendiri adalah kebijakan atau keputusan yang dibuat selalu mengesampingkan dan merugikan masyarakat papua. Hal nyata yang dapat kita lihat adalah terkait proyek atau industri Freeport yang secara jelas sangat menguntungkan pihak asing dan pemerintah pusat.  Kebijakan lainnya adalah terkait distribusi faktor-faktor pembangunan yang bahkan tidak pernah memihak masyarakat papua. Sehingga munculnya gerakan sparatisme di tanah papua bukanlah suatu hal yang tabu, memang benar ketika suatu daerah tidak mendapatkan hak-haknya bukan tidak mungkin mereka akan melawan. Melihat hal demikian memang kembali menegaskan bahwa pemerintah memilki andil yang besar terhadap kasus ini.
v  Sila ke-5 (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
Ketika membicarakan mengenai sila kelima, maka sila terakhir ini dapat dikatakan sebagai sila yang paling istimewa karena sila ini merupakan tujuan akhir dari keempat sila sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan dari rakyat atau negara Indonesia adalah membentuk suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila keadilan sosial memilki prinsip atau mengandung makna bahwa setiap warga negara di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam berbagai bidang, baik itu politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Jika dikaitkan dengan kasus sparatisme yang terjadi di Indonesia nampaknya implementasi dari nilai-nilai sila keadilan ini sudah dapat dikatakan tidak relevan lagi. Pasalnya yang terjadi justru munculnya sparatisme mayoritas didasari pada penyelewengan sila ini. Dengan kata lain penyelewengan sila kelima merupakan awal terbentuknya organisasi-organisasi sparatisme di Indonesia termasuk OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang bermarkas di tanah Papua.
Adapun sila ini memilki penjabaran dalam butir-butir yang cukup banyak, berikut adalah sebagian butir-butir implementasi dari sila kelima yang berkaitan dengan kasus sparatisme di atas:
·      Bersikap adil
Butir ini menghendaki terciptanya pelaksanaan kegiatan antar manusia untuk tidak saling pilih kasih. Adil sendiri juga dapat diartikan sebagai kebutuhan manusia untuk hidup layak, tidak diskriminatif terhadap sesama manusia. Hal ini justru terlihat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia. Sikap diskriminatif pemerintah terhadap suatu daerah kadang sering terjadi terutama pada daerah-daerah terluar yang jauh dari pusat pemerintahan dan industri. Daerah terluar ini sering kurang mendapat perhatian dari pemerintah baik itu bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Meskipun indonesia melaksanakan sistem otonomi daerah yang memungkinkan daerahnya untuk dapat mandiri dengan potensi-potensi yang dimilkinya seakan tidank sejalan dengan yang terjadi di Papua. Tanah papua yang kaya akan sumber daya alam seperti emas, tembaga, dll justru tidak mampu menikmatinya. Hasil alam mereka hanya digerogoti oleh pemerintah pusat untuk membangun industri-industri di daerah yang sudah dapat dikatakan maju. Sedangkan papua tetap dengan keterbelakangan dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini sungguh ironis dengan bunyi sila kelima yang merupakan cita-cita bangsa ini untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
·      Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Pada butir ini menghendaki adanya suatu usaha bersama antar bebagai pihak negara dalam mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kerjasama tersebut dapat dilakukan antara pemerintah pusat daerah maupun antar pemerintah daerah tak terkecuali dengan pemerintah asing. Dengan kerjasama ini nantinya diharapkan akan tercipta kemajuan yang merata di setiap daerah-daerah di Indonesia. Sehingga mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia terutama antara masyarakat pusat dengan pinggiran.
Dengan berlakunya otonomi daerah di Indonesia bukan berarti setiap daerah harus menutup diri dengan daerah lain. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap daerah memilki potensi masing-masing. Dengan potensi ini maka diharapkan setiap daerah mampu tukar menukar untuk kemajuan bersama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan malah sebaliknya, yang terjadi di Indonesia sendiri justru banyak daerah yang telah berkembang dan maju tidak mau dan terkesan menutup diri dengan daerah yang masih tertinggal termasuk Papua sendiri. Sehingga hal inilah yang menjadikan papua merasa sebagai anak tiri di negeri Ini.
Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka saya selaku penulis menyimpulakn bahwasannya kasus ini tidak relevan dengan implementasi pancasila. Banyak sekali nilai-nilai pancasila yang diselewengakan pada kasus ini. Pemerintah hendaknya berebenah diri dan melakukan evaluasi jika tidak mau negara yang merupakan penghasil emas dan tembaga yang besar tersebut harus lepas dari NKRI. Jika kita bertanya pada masyarakt papua apakan mereka cinta dan bangga dengan negara Indonesia tentu mereka akan menjawab bahwa mereka cinta dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana langkah pemerintah dan kita untuk menjaga keutuhan NKRI. Kita tentu tidak mau jika kejadian tahun1998 terulang kembali. Bahkan banyak situs yang menyatakan wacana tentang banyaknya daerah-daerah terluar Indonesia yang ingin memproklamasikan diri dan merdeka dari NKRI dengan alasan karena pemerintah indonesia yang terkesan kurang adil dan diskriminatif.

DAFTAR PUSTAKA

Srjanti,. Rahman,. Purwanto. (2006). Etika Berwarganegara Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Notonagoro. (1994). Pancasila Sebagai Ilmu Populer. Jakarta: Bumi Aksara

______. (1982). Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Jakarta: CV.Rajawali

MacAndrews, Colin., Amal, Ichlasul. (1983). Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada









             

15 komentar

Imtaq SMKN1 Manggelewa 6 Desember 2015 pukul 04.49

Jika papua dengan "dorongan" asing memerdekakan diri, akankah papua sendiri mampu melawan freeport? justru yang ditakutkan adalah papua menjadi suku indian yang musnah atau suku aborigin yang punah ..oleh siapa kalau bukan para pendorong itu. Papua merdeka bukan solusi satu2nya. tapi bagaimana suku papua diberdayakan sdmnya diperbaiki kualitas pendidikannya. hentikan freeport. tetaplah berdaulat dengan nkri karena dalam sejarah nkri mengakui bhinake Tunghal Ika. OPM bangunlah dari tidur dan mimpi indahmu di siang bolong....

Imtaq SMKN1 Manggelewa 6 Desember 2015 pukul 05.07

Ada hal yang sepertinya belum difahami oleh banyak orang indonesia. Coba baca tulisan bahwa memang kekayaan alam indonesia luar biasa, namun Negara kapitalis telah dengan liciknya membuat aturan2 yang menjadikan menguntungkan mereka, dan ternyata justru pemiliknya tidak mendapatkan yanh seharusnya. lihat berapa % bagian indonesia? kecil..dan kontral2 semacam itu adalah kewenangan pusat, nah paling aman adalah jagan mau dikelola asing, makanya mari generasi mudanya belajar dan belajar agar bisa mengelola kekayaan alam sendiri. Anggap kesalahan kontrak masa lalu itu kesalahan, sehingga mampukah kita kompak menghentikan kontrak itu? jika harus dilanjutkan maka pembagian harus adil. Jika hasutan dari luar untuk misahkan diri dilakukan maka selanjutnya negara2 asing itulah yang akan mengatur dan menguras kekayaan alam papua. mampukah pemerintah baru dan tentara2 opm mampu melawan keinginan asing yang telah membantu mereka mrrdeka? nah.... saya takut kalau ujung2nya suku asli akan dimusnahkan disingkirkan seperti aborigin dan suku indian ...pikir2 lagi. masih ada upaya lebih baik dari sekedar nafsu merdeka.

Unknown 5 Februari 2016 pukul 08.20

Mahaf kami sebangsa papua tak akan perna menjerah walaupun dlm keadaan situasi apapun, krn kami lahir untuk mati bukan utk hidup selamanya,, jd sampai kapanpu, berjuang truss,,

Unknown 31 Juli 2016 pukul 04.42

Orang papua kalau ingin memisahkan diri ngapain sekolah jauh jauh ke jawa,pulau jawa bukan tempat buat onar..bagaimanapun juga kalian masih membutukan indonesia

Unknown 29 Agustus 2016 pukul 19.00

Begitu lihainya anda menganalisa dan menyimpulkan suatu permasalahan dengan mengaitkan antara satu dengan yang lain. saya tidak akan berkomentar panjang lebar tentang Papua seperti anda tapi saya cuma mau tanya sedikit kepada anda. Bagaimana peelaksanaan dilapangan setelah Pemerintah Pusat memberikan Otonomi Khusus kepada Papua yang sudah lebih dari 10 tahun, apa yang mesti anda katakan manakala para pekerja yang sedang melaksanakan pembangunan jalan diperas upeti oleh OPM bahkan tidak segan-segan dibunuh seakan nyawa manusia tidak berharga, Negara lain mendukung OPM karena mereka punya kepentingan tersendiri buat Negaranya. Jadi anda janganlah sok pintar, belajarlah yang rajin dulu agar kelak ilmu anda berguna buat bangsa ini bukan menyudutkan kebijakan Pemerintah dan hanya bisa menganalisa dan menyimpulkan coba anda turun sendiri ke Papua, lihat dan pelajari permasalahan apa yang terjadi sehingga Papua tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia

Mr.boy 30 September 2016 pukul 01.35

orang papua sendirilah yang tidak mau meningkat,klw bukan karna orang jawa dan bugis yang kesana berdagang mungkin orang papua tdk kenal yang namanya pakaian.orang papua masa bodoh dengan pendidikan makanya mudah di hasut sama orang asing,sadarlah saudaraku orang papua klwpun kalian merdeka ujung2nya kalian akan di permainkan oleh orang asing,kalian sdh diberi hak istimewa yaitu otonomi khusus yg tdk dmiliki propinsi lain di indonesia klw kalian tdk berkembang itu krn pemerintah di wilayah papua sendiri bukan krn pemerintah pusat.lagian yang anti indonesia diwilayah papua hanya orang2 pedalaman yg tinggalnya di gunung,klw yg tinggalnya di kota yg sdh terjangkau hal2 modern mereka semua pro nkri.

Unknown 8 Oktober 2016 pukul 22.10

@latria, apakah orang indonesia tidak ada di Belanda?

Unknown 6 Februari 2017 pukul 09.50

Dan org jawa juga masih mmbutuhkan papua. Coba tanya sama saudara2 sejenis mu yg sdh hidup lama akibat transmigrasi besar2an dipulau papua..

Unknown 6 Februari 2017 pukul 10.00

@sudirman azis. Hati2 kalo bicara. Bukan org bugis atau jawa yg prtama kali mnginjakan kaki dipulau papua ini. Justru malah missionaris asing yg duluan. Terus terang saja. Orang jawa n bugis itu ditransmigrrasikan oleh pmerintah ke papua. Tuhuannya utk apa? Yg ada cuma mngumpulkn kekayaan saja. Sperti parasit.. sya bicara brdasarkn knyataan. Kau cuma tidur bangun diatas tanahmu. Tahu apa kau mngenai papua.

Unknown 6 Februari 2017 pukul 10.31

Dari semua isi blog diatas sya akui bahwa semua itu jelas sama dgn yg trjadi dipapua.
Yg bicara tdk setuju dgn blog diatas berarti org itu tdk pernah merasakan apa yg terjadi dipapua. Datang kepapua lalu rasakan. Kebanyakan org asli papua tdk mndapat tmpat selayaknya. Itu semua karena proses transmigrasi. Contoh saja. Apa didaerah jawa, org papua bisa jadi wakil bupati. Setiap tahun org rambut lurus datang kepapua dgn tujuan merantau dan mengadu nasib. Padahal tujuan utamanya yaitu mngumpulkn kekayaan. Sperti parasit lebih tepatnya. Otonomi khusus itu tdk brjalan efektif selama hal semacam ini terus ada. Makanya org asli papua jadi minder dan lebih memilih meminggir dan diambil alih sama org rambut lurus. Itulah fakta sebenarnya yg terjadi dipapua.

Unknown 24 Oktober 2017 pukul 09.07

Makanya kenapa tidak tanya persoalan apa yang sebenarnya sebenarnya terjadi di papua?
makanya papua ingin berpisa karna kebodohan NKRI terhadap masyarakatnya maka tdk mau gabung dgn indonesia, apa gunanya pancasilah?

ben abel 17 November 2017 pukul 12.26

Bukan Papua keluar dari Indonesia, tetapi Indonesia keluar dari Papua (They Eluay, Kongres Papua II, 2003)

ben abel 17 November 2017 pukul 12.31

Dari awal secara politik orang Papua sudah berbeda dengan daerah lain. Kontrak karya Freeport di Papua sudah ada tahun 1967. Papua belum berintegrasi dengan Indonesia. Integrasi tahun 1969. Orang Papua terutama di pesisir dijanjikan membentuk negara sendiri.Itu sebenarnya cikal bakal orang Papua berjuang terus sampai hari ini. Itu membuat sekat-sekat politik yang luar biasa dan tidak pernah membentuk orang Papua dalam jiwa murni bahwa kami adalah warga Indonesia.Sampai hari ini belum ada. Jakarta mengangap orang Papua bodoh, sewenang-wenang padahal yang mereka pimpin ini manusia. Mereka (orang Papua) paham sekali, mengerti sejarah dan seterusnya. Mereka pintar sekali. [Gubernur Lukas Enembe] https://nasional.tempo.co/read/734620/gubernur-papua-belum-ada-orang-papua-berjiwa-indonesia#lHagDQRlR78ydv0I.01

RAKINA 19 Februari 2018 pukul 14.46

NKRI harga mati mas wahyu ingat sejarah dulu Sebelum anda di lahirkan wilayah Nusantara pada masa kerajaan majapahit meliputih Asia tenggara dan sampai timur pulau ocean sekitarnya berikut pulau australia itu semua wilayah Nusantara.Dan ingat mas wahyu peradaban manusia yang menyebar kewilayah asia tenggara dan sampai ke ocean dan australia itu dari jawa.mereka mereka itu penduduk pendatang yang sekarang ini.mereka mempunyai politik de vide de et empera dia mereka kapitalis dan kolonialis Ingin mengadu domba dan memecah belah asli bangsa Nusantara ini dan mengeruk SDA mineral tinggi yang ada di bumi nusantara ini.ingat sejarah dulu jangan ingat sekarang mas wahyu tolong di jawab ya alasan argumen pendapat saya

Figo 29 Agustus 2018 pukul 06.20

Jumadi anda takut jdi Miskin too.

Posting Komentar

Popular Posts