Label 3

Minggu, 23 Februari 2014

Periode Demokrasi Parlementer

Periode Demokrasi Parlementer

Periode ini merupakan periode yang unik dalam kehidupan politik Indonesia. Meskipun periode ini disebut periode parlementer, indonesia menganut UUD 1945 yang menganut sistem presidensial pada tahun 1945-1949. Hal inilah yang menjadi keunikan pada periode ini. Dengan demikian pada periode ini terdapat dua sistem kabinet yang pernah muncul dalam melaksanakan tugas-tugas eksekutif, yakni presidensial dan parlementer. Terhitung dari 8 kabinet yang berkuasa terdapat 3 kabinet presidensial dan sisanya parlementer.
Perubahan sistem kabinet ini tentu saja menimbulkan reaksi dalam masyarakat. Perubahan sistem ini dapat dilihat dari dikeluarkannya maklumat wakil presiden no X tahun 1945 tentang pemberian wewenng legislatif kepada KNIP. Hal ini menyebabkan beberapa perdebatan-perdebatan. Pihak yang tidak menyetujui perubahan sistem penyelenggaraan pemerintah berpendapat bahwa perubahan tersebut jelas menyimpang dari UUD 1945 yang menganut sistem presidensiil. Sementara pihak yang setuju dengan perubahan menyatakan bahwa perubahan dalam sistem kabinet dapat dibenarkan sebagaimana layaknya suatu konvensi di inggris.
Pendapat lainnya menekankan masalah perundingan dengan pihak belanda mengenai kedaulatan Indonesia. Presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta dianggap sebagai orang-orang yang berhubungan dengan fasisme jepang, sedangkan belanda tidak mau berunding dengan orang-orang  yang terlibat dengan kegiatan fasisme jepang. Situasi ini membuat Presiden dan Wakil Presiden memutuskan untuk merubah sistem kabinet dengan tujuan  mempersatukan seluruh kekuatan fisik dan diplomasi untuk menghadapi Belanda. Dengan demikian maka disetujui suatu sistem kabinet parlementer di bawah pimpinan perdana menteri selaku kepala pemerintahan dan presiden hanya sebagai kepala negara.
Pada masa demokrasi Parlementer, kabinet yang berkuasa mempunyai kedudukan yang sangat lemah. Lemah dalam artian tidak mampu melaksanakan program-programnya secara teratur. Hal ini dapat dilihat dari jatuh bangunnya kabinet pada masa demokrasi parlementer ini. Terbukti selama 14 tahun terjadi 19 kali pergantian kabinet yang berkuasa dalam pemerintahan. Hanya sedikit kabinet yang bisa melaksanakan programnya dengan baik, yaitu kabinet burhanudin harahap yang dapat melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955 dan setelah kabinet ini melaksanakan program ini, kabinet menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden.
Dengan demikian maka sangat jelas bahwa selama 14 tahun masa demokrasi parlementer telah terjadi suatu ketidakstabilan politik di Indonesia. Usia kabinet hanya berkisar antara dua setengah bulan sampai dua tahun. Kabinet yang paling pendek usianya adalah kabinet Amir Sjarifudin II, yaitu dari 11 November- 29 Januari 1948. Sedangkan kabinet yang paling panjang usianya adalah kabinet Ali Sastroamidjojo yaitu dari 30 Juli 1953- 12 Agustus 1955. Sementara yang lainnya hanya berkisar antara 3 bulan sampai 1 tahun. Sehingga jelas bahwa pada masa ini banyak kabinet yang tidak mampu menyelesaikan programnya.
Sementara itu banyak waktu yang anya dipergunakan kabinet untuk menyusun personalia kabinet baru setelah kabinet demisioner. Lamanya proses yang diperlukan berkisar antara 1 sampai 2 bulan dikarenakan kabinet merupakan koalisi beberapa partai yang berkuasa dalam parlemen. Hal lain yang mengakibatkan proses pembentukan kabinet menjadi lama adalah proses tawar menawar antar partai-partai dalam parlemen yang meliputi penempatan personalia partai di tempat yang dinilai strategis. Bahkan pernah terjadi kegagalan dalam penyusunan kabinet dan menyerahkan mandat tersebut kepada Presiden. Hal ini terjadi pada 1953 , yaitu ketika Presiden menunjuk Mohammad Room dan S. Mangunsarkoro sebagai formatur untuk membentuk kabinet. Hal ini membuat presiden menunjuk Wongsonegoro untuk membentuk kabinet.
Setidaknya ada tiga penyebab jatuhnya suatu kabinet dalam masa Demokrasi parlementer. Ketiga penyebab tersebut ialah oposisi dari luar parlemen, oposisi dari dalam parlemen dan mudah retaknya koalisi kabinet. Kabinet yang jatuh sebagai akibat dari oposisi dari luar  nampak jelas terjadi pada kabinet-kabinet masa revolusi fisik, tahun 1945-1949. Misalnya yang terjadi pada kabinet Sutan Syahrir ke-I yang dijatuhkan oleh oposisi Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Kelompok yang terdiri dari 141 organisasi, termasuk parpol dan organisasi semi militer yang berda di luar parlemen ini menuntut agar kabinet syahrir berunding dengan belanda terkait 100% atas kemerdekaan Indonesia. Karena lemahnya Syahrir dalam perundingan mengakibatkan tuntutan persatuan perjuangan mendapatkan dukungan semakin luas sehingga syahrir menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 28 Februari 1946. Kabinet Syahrir ke II juga dijatuhkan oleh oposisi dari luar parlemen. Hal ini dilakukan oleh pendukung Persatuan Perjuangan yang menculik Perdana menteri syahrir dan membebaskan Tan Malaka yang sebelumnya ditahan oleh Syahrir. Selain itu Kabinet Syahrir ke III jatuh karena oposisi yang menentang ditandatanganinya persetujuan Linggarjati oleh Syahrir.

0 komentar

Posting Komentar

Popular Posts