Periode Demokrasi
Parlementer
Periode
ini merupakan periode yang unik dalam kehidupan politik Indonesia. Meskipun
periode ini disebut periode parlementer, indonesia menganut UUD 1945 yang
menganut sistem presidensial pada tahun 1945-1949. Hal inilah yang menjadi
keunikan pada periode ini. Dengan demikian pada periode ini terdapat dua sistem
kabinet yang pernah muncul dalam melaksanakan tugas-tugas eksekutif, yakni
presidensial dan parlementer. Terhitung dari 8 kabinet yang berkuasa terdapat 3
kabinet presidensial dan sisanya parlementer.
Perubahan
sistem kabinet ini tentu saja menimbulkan reaksi dalam masyarakat. Perubahan
sistem ini dapat dilihat dari dikeluarkannya maklumat wakil presiden no X tahun
1945 tentang pemberian wewenng legislatif kepada KNIP. Hal ini menyebabkan
beberapa perdebatan-perdebatan. Pihak yang tidak menyetujui perubahan sistem
penyelenggaraan pemerintah berpendapat bahwa perubahan tersebut jelas
menyimpang dari UUD 1945 yang menganut sistem presidensiil. Sementara pihak
yang setuju dengan perubahan menyatakan bahwa perubahan dalam sistem kabinet
dapat dibenarkan sebagaimana layaknya suatu konvensi di inggris.
Pendapat
lainnya menekankan masalah perundingan dengan pihak belanda mengenai kedaulatan
Indonesia. Presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta dianggap sebagai
orang-orang yang berhubungan dengan fasisme jepang, sedangkan belanda tidak mau
berunding dengan orang-orang yang
terlibat dengan kegiatan fasisme jepang. Situasi ini membuat Presiden dan Wakil
Presiden memutuskan untuk merubah sistem kabinet dengan tujuan mempersatukan seluruh kekuatan fisik dan
diplomasi untuk menghadapi Belanda. Dengan demikian maka disetujui suatu sistem
kabinet parlementer di bawah pimpinan perdana menteri selaku kepala
pemerintahan dan presiden hanya sebagai kepala negara.
Pada
masa demokrasi Parlementer, kabinet yang berkuasa mempunyai kedudukan yang
sangat lemah. Lemah dalam artian tidak mampu melaksanakan program-programnya
secara teratur. Hal ini dapat dilihat dari jatuh bangunnya kabinet pada masa
demokrasi parlementer ini. Terbukti selama 14 tahun terjadi 19 kali pergantian
kabinet yang berkuasa dalam pemerintahan. Hanya sedikit kabinet yang bisa
melaksanakan programnya dengan baik, yaitu kabinet burhanudin harahap yang
dapat melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955 dan setelah
kabinet ini melaksanakan program ini, kabinet menyerahkan kembali mandatnya
kepada presiden.
Dengan
demikian maka sangat jelas bahwa selama 14 tahun masa demokrasi parlementer
telah terjadi suatu ketidakstabilan politik di Indonesia. Usia kabinet hanya
berkisar antara dua setengah bulan sampai dua tahun. Kabinet yang paling pendek
usianya adalah kabinet Amir Sjarifudin II, yaitu dari 11 November- 29 Januari
1948. Sedangkan kabinet yang paling panjang usianya adalah kabinet Ali
Sastroamidjojo yaitu dari 30 Juli 1953- 12 Agustus 1955. Sementara yang lainnya
hanya berkisar antara 3 bulan sampai 1 tahun. Sehingga jelas bahwa pada masa
ini banyak kabinet yang tidak mampu menyelesaikan programnya.
Sementara
itu banyak waktu yang anya dipergunakan kabinet untuk menyusun personalia
kabinet baru setelah kabinet demisioner. Lamanya proses yang diperlukan
berkisar antara 1 sampai 2 bulan dikarenakan kabinet merupakan koalisi beberapa
partai yang berkuasa dalam parlemen. Hal lain yang mengakibatkan proses
pembentukan kabinet menjadi lama adalah proses tawar menawar antar
partai-partai dalam parlemen yang meliputi penempatan personalia partai di
tempat yang dinilai strategis. Bahkan pernah terjadi kegagalan dalam penyusunan
kabinet dan menyerahkan mandat tersebut kepada Presiden. Hal ini terjadi pada
1953 , yaitu ketika Presiden menunjuk Mohammad Room dan S. Mangunsarkoro
sebagai formatur untuk membentuk kabinet. Hal ini membuat presiden menunjuk
Wongsonegoro untuk membentuk kabinet.
Setidaknya
ada tiga penyebab jatuhnya suatu kabinet dalam masa Demokrasi parlementer.
Ketiga penyebab tersebut ialah oposisi dari luar parlemen, oposisi dari dalam
parlemen dan mudah retaknya koalisi kabinet. Kabinet yang jatuh sebagai akibat
dari oposisi dari luar nampak jelas
terjadi pada kabinet-kabinet masa revolusi fisik, tahun 1945-1949. Misalnya
yang terjadi pada kabinet Sutan Syahrir ke-I yang dijatuhkan oleh oposisi
Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Kelompok yang terdiri dari 141
organisasi, termasuk parpol dan organisasi semi militer yang berda di luar
parlemen ini menuntut agar kabinet syahrir berunding dengan belanda terkait
100% atas kemerdekaan Indonesia. Karena lemahnya Syahrir dalam perundingan
mengakibatkan tuntutan persatuan perjuangan mendapatkan dukungan semakin luas
sehingga syahrir menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 28
Februari 1946. Kabinet Syahrir ke II juga dijatuhkan oleh oposisi dari luar
parlemen. Hal ini dilakukan oleh pendukung Persatuan Perjuangan yang menculik
Perdana menteri syahrir dan membebaskan Tan Malaka yang sebelumnya ditahan oleh
Syahrir. Selain itu Kabinet Syahrir ke III jatuh karena oposisi yang menentang
ditandatanganinya persetujuan Linggarjati oleh Syahrir.
0 komentar
Posting Komentar