Label 3

Kamis, 27 Maret 2014

Partai Politik: Kuda atau Jubah bagi Politikus?

Negara demokrasi tentu identik dengan apa yang disebut dengan partai politik. Kebebasan bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih membuat setiap orang berhak menentukan pilihannya dan mencalonkan diri sebagai pemimpin. Identitas negara demokrasi tak pernah lepas dari hingar bingar pemilu (pemilihan umum). Suatu sistem pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat sendiri sehingga akan tercipta suatu hakikat demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya pemilu masih dianggap sebagai cara yang paling representatif bagi terwujudnya sistem demokrasi seutuhnya. Jika pemilu memang suatu cara yang dianggap paling representatif, apakah proses pelaksanaan dan output dari pemilu akan menghasilkan wakil rakyat yang merakyat?. Sebuah retorika pertanyaan yang menggelitik.
            Indonesia merupakan negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi asas-asas demokrasi yakni kebebasan. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut tentu menjadi dasar pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia. Sistem pemilu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan juga menjadi salah satu bentuk paling nyata dari sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dalam pemilu rakyat berhak mencalonkan diri serta memilih sendiri calon-calonnya yang dianggap mampu menyuarakan aspirasinya. Sehingga akan muncul sebuah istilah bahwa negara tidak dapat dikatakan sebagai negara demokrasi jika tanpa pemilu di dalamnya.
            Pemilu langsung yang telah dilaksanakan mulai tahun 1999, 2004, 2009 sampai sekarang yang mana tinggal hitungan hari kita akan kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk keempat kalinya yakni pemilu tahun 2014. Dari sistem pemilu tertutup sampai proporsional terbuka membuktikan bahwa telah dilakukan perbaikan sistem pemilu. Dari yang dulu ketika rakyat hanya disuguhi gambar parpol tanpa mengetahui wakilnya sehingga muncul istilah memilih kucing dalam karung sampai saat ini yang mana pemilih mengetahui nama-nama calon wakil mereka di senayan yang nantinya akan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini tentu menegaskan bahwa sistem pelaksanaan pemilu terus dilakukan perbaikan untuk mencapai pelaksanaan pemilu yang paling demokratis. Belajar dari berbagai kelemahan pemilu sebelumnya tentu pemilu tahun ini sudah diperbaiki dari berbagai aspeknya.
            Pemilu adalah sebuah proses yang intinya mengandung input dan output. Output yang baik hanya akan tercipta jika inputnya pun juga baik. Tentu sudah banyak yang mengkritisi terkait proses (pemilu) itu sendiri.  Input yang dimaksud di sini adalah masukan dari proses (pemilu) tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa input dari pemilu adalah orang-orang yang kemudian kita kenal dengan caleg-caleg, capres, cawapres, dll. Sedangkan outputnya nanti adalah caleg yang telah terpilih yang disebut anggota legislatif, capres terpilih yang kemudian disebut presiden, dlsb. Input ini tentunya mempunyai sebuah sarana penunjang guna melalui sebuah proses atau pemilu dan yang selanjutnya sering kita sebut sebagai tunggangan politik atau partai-partai politik.
            Tahun 2014 ini setidaknya ada 14 parpol, yakni 11 partai nasional dan 3 partai lokal yang akan meramaikan pesta demokrasi. Dari belasan partai tadi tentu masing-masing partai akan memilki visi, misi serta kepentingan yang berbeda-beda. Kepentingan partai tentu ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat tetapi ada pula beberapa kepentingan partai yang tentu dibuat demi kepentingan partai itu sendiri. Hal ini karena politik berbicara mengenai bagaimana caranya memperoleh kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaan. Konsep inilah yang menjadikan partai politik berlomba-lomba mengeruk suara terbanyak dari masyarakat.
            Parpol dianggap sebagai jalan utama untuk menjadi wakil rakyat dan ikut dalam pemilu. Karena tanpa parpol nampaknya tidak mungkin sesorang akan menjadi anggota legislatif atau wakil rakyat. Jika kita menganalogikan caleg-caleg tersebut adalah seorang panglima perang berkuda maka alangkah baiknya jika parpol dianalogikan sebagai kudanya bukan sebagai jubah perangnya. Sedangkan kepentingan rakyat kita analogikan sebagai jubah perangnya. Kemudian pemilu dapat kita ibaratkan sebagai perangnya. Jadi, pemilu dapat dianalogikan dengan keadaan di mana panglima perang berjubah dan menunggang kuda yang sedang berperang untuk memperoleh kemenangan sehingga dapat kembali ke istana. Istana sendiri adalah analogi dari gedung DPR.
            Makna dari analogi di atas adalah ketika seorang caleg atau politikus itu terjun di dalam pemilu untuk memperjuangkan hak-hak rakyat tentu modal utamanya adalah ikut parpol dan mempunyai visi dan misi untuk rakyat. Kemudian ketika caleg tadi berhasil terpilih sebagai anggota legislatif dan berhak menduduki kursi DPR di senayan maka ia harus meninggalkan kepentingan partai politiknya (kudanya) di luar. Sehingga yang dibawa masuk ke dalam adalah kepentingan rakyat (jubah perangnya). Karena pada dasarnya ketika seseorang telah menjadi anggota legislatif maka sepenuhnya ia adalah milik rakyat bukan milik parpol lagi. Parpol adalah sarana mencapai kekuasaan dan kewenangan untuk menduduki kursi DPR. Inilah yang perlu dibentuk dan diubah dari mindset para caleg yang mana mereka selalu mengedepankan kepentingan pribadi dan parpol. Dampak yang jelas terlihat dapat tercermin ketika suatu kebijakan yang sangat lama diputuskan karena gesekan pendapat antar fraksi.
            Lalu bagaimana menyelesaikan masalah di atas? Penyelesaian masalah yang dapat kita lakukan adalah dari kita sendiri. Kita mempunyai hak kebebasan dalam memilih wakil-wakil rakyat. Mari gunakan hak pilih kita guna menghasilkan output terbaik dengan cara mengenali dulu calon-calon yang hendak kita pilih, cari tau track recordnya, visi misinya, dan berbagai hal tentangnya. Pilihlah caleg bukan atas dasar partai politiknya melainkan kita melihat sikapnya dalam menempatkan partai politiknya. Bukan seseorang yang dikendalikan parpolnya namun mampu menjadikan parpolnya sebagai sarana memperoleh ilmu politik baginya. Golput bukanlah pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Jika negeri ini nantinya dipimpin oleh orang yang salah jangan salahkan pemimpinnya karena mereka adalah orang yang kita beri kepercayaan.

1 komentar

IBU.FATMA WATI 8 Februari 2016 pukul 05.30

KISAH NYATA..............
Ass.Saya IBU.FATMA WATI Dari Kota surabaya Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Dimas,saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasi solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Dimas alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Dimas Taat Pribadi di nmr 081340887779 Kiyai Dimas Taat Peribadi,ini nyata demi Allah kalau saya bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.

KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!.
PESUGIHAN DANA GAIP KY DIMAS KANJENG

Posting Komentar

Popular Posts